Pro kontra kepemilikan properti bagi warga negara asing (WNA) terus bergulir. Di satu pihak menyatakan ketidaksetujuannya tentang kepemilikan properti untuk orang asing, disisi lain para pengembang yang tergabung dalam Assosiasi Pengembang Real Estate Indonesia (REI) terus berupaya mendorong agar WNA diberi kesempatan untuk memiliki properti di Indonesia, khususnya untuk unit-unit apartemen.
“DPP REI menghormati pendapat tersebut segelintir pihak yang kurang setuju tersebut. Dan REI menyatakan, pendapat yang dilontarkan pihak tersebut adalah karena mereka tidak memahami aturan UU dan peraturan pemerintah yang sudah mengatur hak properti bagi orang asing,” ujar Setyo Maharso, Ketua umum DPP REI, kepada wartawan, Kamis (12/12).
Menurut Maharso, pendapat yang dikemukakan pihak yang kurang setuju tersebut juga cenderung menyerang pemerintah, dimana jika presiden memperbaiki regulasi yang ada sebelumnya, maka dianggap menghianati UU karena mereka berpendapat akan membuat masyarakat semakin kesulitan memiliki rumah.
“REI justru berpendapat sebaliknya, Jika regulasi tentang Hak kepemilikan asing diperbaiki dengan tetap membatasi hanya properti tertentu dengan harga tertentu saja yang bisa dibeli orang asing maka pemerintah justru akan mendapatkan devisa baik dari pajak maupun dampak ikutan lainnya. Nah, uang tersebut bisa digunakan kembali untuk membangun dan menyediakan pembiayaan bagi perumahan bersubsidi,” terang Maharso.
Pada kenyataannya jelas Setyo, tidak bisa dipungkiri sekarang makin banyak orang asing yang tertarik tinggal di Indonesia. Tetapi karena regulasi yang ada hanya membatasi pada hak sewa dan hak pakai, maka dalam prakteknya kemudian banyak terjadi pelanggaran hukum tetapi pemerintah tidak bisa bertindak lebih jauh.
“Terjadi penyeludupan hukum di lapangan. Orang asing langsung menyewa ke pemilik properti bahkan menyewa tanah secara jangka panjang, tanpa pajak-pajak yang seharusnya dibayarkan kenegara. REI justru mendorong dan memperjuangkan agar tidak ada lagi penyeludupan hukum. Properti yang akan dimiliki juga harus diatur termasuk harga jualnya. Jadi negara juga mendapatkan devisa baik langsung maupun tidak langsung dari hak kepemilikan asing tersebut,” ujarnya.
Setyo mencontohkan di Bali misalnya, terjadi penyelewengan hukum tanah di Bali adalah karena waktu yang singkat atas pemberlakuan Hak Pakai bagai Orang Asing dan untuk menghindari ini mereka kemudian menikahi orang Indonesia. Karena itu sejak 15 tahun lalu REI selalu memperjuangkan perbaikan regulasi kepemilikan Properti Untuk Orang Asing sehingga potensi-potensinya bisa dinikmati masyarakat. “Usulan REI kongrit, perlu ada kesamaan agar semua bangunan vertikal untuk hunian diberikan Hak Pakai semua, sehingga perlakuan perbankan dan masyarakat dalam memandang status Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan sama, toh dalam aturan-nya, sama-sama dapat menjadi agunan,” tandas Setyo. Senada dengan itu, Enggartiasto Lukita, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golongan Karya mengatakan, melihat besarnya potensi ekonomi dari diberikannya kesempatan kepada WNA untuk memiliki properti di Indonesia, maka amandemen Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sudah merupakan suatu keharusan. “UUPA tersebut dibuat dari tahun 1961. UU yang dibuat tahun 2000 –an saja sudah banyak yang direvisi. Saya tidak habis pikir, hanya untuk kepentingan segelintir orang UUPA tersebut tidak di amandemen,” ujar Enggar yang juga Mantan Ketua DPP REI ini. Sumber: PropertyKita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H