Seminggu yang lalu, saat sedang mempertimbangkan untuk nonton Crash Landing on You atau Itaewon Class duluan, saya tertarik dengan sebuah film baru yang muncul di beranda Netflix. Nuansa posternya gelap dengan genre science fiction thriller. Kayaknya semacam film Cube (1997) atau Circle (2015) nih, pasti seru! Pikir saya waktu itu. Akhirnya saya mengurungkan niat untuk menonton dua film Korea yang lagi ngehits tadi dan langsung mengklik film The Platform. Lalu saya beranjak ke ruang makan untuk nonton sambil makan siang. Beberapa menit film dimulai dan saya sadar kalau film yang pernah memenangkan penghargaan di Festival Film Internasional Toronto ini sama sekali engga cocok untuk menjadi teman makan. Jadi untuk yang baru mau nonton, harap jangan sambil makan ya.
Seluruh scene The Platform mengambil tempat di sebuah penjara vertikal 333 tingkat di Spanyol yang bernama The Hole. Umumnya orang-orang yang tinggal di dalam The Hole adalah para kriminal, tetapi berbeda dengan Goreng yang menjadi pemeran utama dalam film ini, ia masuk secara sukarela. Kok bisa ada orang yang mau masuk ke dalam penjara secara sukarela? Iya, alasannya adalah karena Goreng ingin berhenti ngerokok, baca buku Don Quixote (re: Don Kihote) dengan tenang, dan mendapat gelar sarjana setelah tinggal di dalam The Hole selama enam bulan. Saya juga ga tau sih gimana caranya menggantikan kegiatan kuliah dan menulis skripsi dengan tinggal di dalam penjara selama enam bulan, tapi pokoknya begitulah.
Setiap sel di dalam The Hole diisi oleh dua orang dan di tengah-tengah sel tersebut terdapat sebuah lubang, dimana setiap harinya lubang tadi akan dilewati sebuah platform atau meja panjang yang berisi banyak makanan mewah. Platform itu akan berhenti di setiap sel selama satu menit dan para narapidana bebas memakan sebanyak apapun yang mereka mau. Dengan sistem seperti ini, otomatis orang-orang yang berada di tingkat atas akan mendapat banyak makanan dan orang-orang di tingkat bawah akan selalu kehabisan makanan lalu mati kelaparan. Namun, mereka hanya akan bertahan di posisi tersebut selama satu bulan saja karena setiap bulan sel yang mereka tempati akan diacak. Hal ini memperburuk keadaan karena orang-orang yang akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berada di level atas akan makan jauh lebih banyak, karena mereka tahu bahwa bisa saja bulan depan mereka akan pindah ke level bawah dan tidak mendapatkan makanan.
Setelah mengetahui fakta mengerikan ini, Goreng berusaha untuk mengubah keadaan. Kalau pernah baca Don Quixote mungkin sifat Goreng terasa familiar kan? Ya, tokoh utama dalam novel satir yang selalu dibawa-bawa Goreng itu memang sedikit banyak memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri. Bagi yang belum pernah membaca, Don Quixote berkisah tentang seorang lelaki tua bernama Alonzo Quinjano yang kemudian disebut sebagai Don Quixote de la Mancha atau Don Kihote dari distrik Mancha. Sedari dulu, ia memiliki hobi membaca buku petualangan yang kemudian membuatnya terhanyut dan percaya bahwa dirinya adalah seorang ksatria. Berangkat dari kepercayaan tersebut, ia kemudian pergi berkelana dengan kudanya yang ringkih untuk mendapatkan cinta seorang putri. Salah satu adegan yang menarik perhatian dari kisah ini adalah saat Don Quixote menyerang sebuah kincir angin yang dalam imajinasinya adalah sebuah raksasa jahat dan berakhir babak belur. Loh, berarti Goreng sama 'gila'nya dengan Don Quixote dong? Oke, nanti kita bahas setelah penjelasan mengenai konsep Trickle Down Effect yang Goreng coba untuk terapkan di dalam The Hole.
Trickle down effect adalah sebuah dogma ekonomi yang banyak dipercaya sampai hari ini. Secara singkat, trickle down effect adalah usaha untuk memperbesar kegiatan ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi yang berada di bawahnya. Suatu hari Goreng terbangun di level 6, sebuah level yang sangat aman dimana ia bisa makan dengan puas. Tetapi ia tidak ingin memanfaatkan kesempatan tersebut dan justru berinisiatif untuk membagikan makanan di setiap tingkat agar cukup sampai ke orang-orang yang berada di lantai paling dasar. Menurut saya ini bukan film yang heroik atau kritis, The Platform hanya ingin menunjukkan bahwa trickle down effect adalah sebuah konsep yang utopis dan tidak akan pernah terjadi. Pada akhirnya kemakmuran tidak akan sampai ke tingkat terbawah dan disparitas ekonomi tidak akan pernah hilang. Orang-orang kaya akan bertambah kaya dan yang miskin tidak akan dapat apapun dan tambah miskin.
Kembali ke Don Quixote, karakter Goreng di film ini juga merasa bahwa dirinya seorang ksatria yang mampu menolong semua orang di dalam The Hole agar terhindar dari mati kelaparan. Padahal, apa yang diperjuangkannya tidak akan bisa berhasil dan pada akhirnya hanya akan merugikan dirinya sendiri. Sama seperti saat Don Quixote melawan kincir angin yang dikiranya raksasa jahat, seluruh usaha Goreng untuk memberikan wake up call kepada dalang dibalik sistem The Hole juga akan sia-sia karena tempat tersebut dari awal dibangun atas dasar suatu tujuan; untuk menghukum orang-orang di dalamnya. Ironis? Iya. Tidak ada yang bilang kalau semua kisah perjuangan harus punya happy ending kan?
Tentu saja ini hanya opini dari satu sudut pandang. Seperti kebanyakan film-film thriller lainnya, The Platform juga memiliki akhiran yang menggantung. Penonton bisa berasumsi sendiri mengenai bagaimana sebenarnya ending dari film ini. Ada yang berpikir bahwa perjuangan Goreng berhasil dan ada pula yang berpikir sebaliknya. Bebas. Kayak jawaban dari sang sutradara, Gaztelu-Urrita, di salah satu interviewnya ini:
"Ultimately I wanted it to be open to interpretation. I'll leave what happens to your imagination".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H