Masih dalam rangka bulan peduli Autisme, Saya, Andre dan kembarannya, Ryan mempersembahkan aplikasi "Terapi Autis - Intervensi Dini" untuk anak dengan autisme. Tujuan dari pengembangan Aplikasi ini ialah untuk memberdayakan anak penyandang autis maupun usia dini pada umumya agar dapat mengembangkan kemampuan akademiknya. Dimana biaya terapi intervensi dini itu tidak murah dan belum semua wilayah terdapat fasilitas dan terapis yang memadai. Untuk penjelasan tentang autisme ada di video ini:
Ternyata, menjadi penyandang autisme itu berat, karena tidak semua sekolah bersedia menerima individu dengan autisme. Cerita awal kami didiagnosa autis infantil berdasarkan penuturan orang tua ialah kami belum dapat bicara, komunikasi hanya dengan televisi, tidak dapat menatap muka orang, meminta sesuatu dengan menunjuk, susah makan sayur dan buah-buahan, dan suka kabur dan menghilang pada usia tiga tahun. Pada 2001, kami bersama orang tua berkonsultasi dengan dr. Melly Budiman, yang menjadi pimpinan Yayasan Autisma Indonesia. Perjuangannya, ada orang tua yang harus mengantri berbulan bulan untuk berkonsultasi dengannya, namun karena orang tua kami memiliki teman kantor dekat dengannya, maka kami mendapat prioritas untuk berkonsultasi dengannya di RS MMC Kuningan, Jakarta Selatan.
Setelah mendapatkan diagnosis autis infantil, akhirnya orang tua mengajak kami untuk mengikuti terapi wicara di Jambangan Kasih, meskipun sempat mengikuti pendidikan di TK Melati, Kelurahan Malaka Sari, Jakarta Timur namun tidak bertahan lama. Setelah itu, pada 2002, kami pernah mau dimasukkan ke kelompok TK B oleh orang tua, namun karena kurang kondusif, jadi ibu Yanti memasukkan kami ke TK A terlebih dahulu di TK Yohanes Rasul, Kel. Malaka Jaya, jakarta Timur. Untuk saya bisa bertahan hingga tamat, sedangkan kembarannya tidak dapat bertahan lama, sehingga pindah ke TK Margalaksana saat di kelas TK B. Selama di TK, kami sempat mengikuti terapi ABA di KID Autis JMC di Otista, Bidara Cina, Jakara Timur. Karena biaya terapi disana cukup mahal, sehingga orang tua mencari bantuan hingga ke Amerika melalui milis ke First Hand Foundation (sekarang disebut Cerner Charitable Foundation). Dulu saya pernah kesetrum karena suka utak atik listrik di taman rekreasi pada 2003. Selain itu saya pernah tidak bisa duduk tenang di kelas.
Setelah tamat dari TK, kami melanjutkan pendidikan di SDS Budhaya II St. Agustinus Buaran, Jakarta Timur. Namun saya hanya bisa bertahan hingga akhir kelas I SD (Mei 2005), sedangkan kembarannya hanya bisa bertahan seminggu, lalu pindah ke SD BPSK, Malaka Jaya, Jakarta Timur dan bertahan hingga Januari 2005. Alasan kami dikeluarkan dari sekolah tersebut ialah kebiasaan yang sulit dikendalikan dan mengganggu anak lain. Pada Januari hingga Mei 2005, ada pendamping yang mendampingi saya di SD itu agar mau duduk diam, mendengarkan, mencatat dan belajar.
Setelah dikeluarkan dari sekolah tersebut, kami diasramakan di Sekolah Autis Imaculata yang awalnya berada di Utan Kayu, Jakarta Timur. Disana kami dipaksa makan sayur dan buah, serta mengikuti kegiatan di asrama. Jadwal kegiatan pun diatur sedemikan rupa agar anak mau ikut kegiatan di asrama. Menjelang Tahun Baru 2006, Asrama pindah ke Taman Harapan Baru, Medan Satria, Kota Bekasi. Biasanya kalau anak tidak mau mengikuti aturan di asrama, bakal dihukum oleh guru yang bersangkutan. Kami hanya bertahan di Asrama hingga April 2006 karena orang tua tidak dapat membiayai pendidikan disana.
Setelah itu, pada Juli 2006, orang tua pun mencari sekolah untuk kami, namun tidak ada satupun sekolah reguler yang menerima kami, akhirnya kami disekolahkan di SLB BC Surya Wiyata di Jatiwaringin, Kota Bekasi. Walaupun hanya bisa bertahan selama 3 tahun karena minim perkembangan, akhirnya kami pindah ke SLB Kembar Karya Pembangunan II pada Oktober 2009 hingga Lulus SD. Sebelum itu, kami sempat mencari sekolah di Bakti Luhur di Malang dan Ciputat, Tangerang Selatan pada Oktober 2008, lalu di SLB C Karya Bhakti Purworejo pada Juli 2009, namun baru bisa diasramakan tahun 2010 karena keterbatasan daya tampung asrama.
Setelah tamat SD, kami masuk asrama di Purworejo agar dapat belajar hidup mandiri, sehingga tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi hidupnya. Selama disana kami sempat mengikuti kompetisi seni dan akademik hingga masuk ke sekolah reguler, yaitu SMP (Sekolah Menengah Pertama) Bruderan Purworejo pada November 2012 hingga lulus pada Juni 2014 meskipun harus turun ke kelas VIII. Orang tua pun setuju bahwa kami masuk sekolah reguler walaupun kembaran saya sempat kena skorsing karena perilaku yang mengangganggu temannya, sehingga kelas yang ditempati kembarannya itu dibatasi maksimal 20 orang saja.
Setelah lulus dari SMP Bruderan Purworejo, kami melanjutkan pendidikan di Jakarta di SMA (Sekolah Menengah Atas) yang berbeda-beda, yaitu saya di SMA Negeri 59 Jakarta, sedangkan kembarannya di SMA Negeri 44 Jakarta. Selama disana, kami mendapat perlakuan yang tidak pantas, bahkan objek seperti kami diperlakukan sebagai bahan candaan, jadi kebiasaan temannya itu cukup kurang wajar hingga membuat kami marah, hingga ada temannya dipanggil ke Ruang BK (Bimbingan dan Konselling) dan menghadap guru pembimbing meski tidak semua guru disana dapat memahami kondisi kami di sekolah yang berbeda ini. Karena ada guru yang bisa mempertahankan kami di sekolah masing-masing, akhirnya kami bisa bertahan hingga lulus meski ada guru yang bercerita tentang pengalamannya menangani anak disabilitas di sekolah lain.
Setelah lulus SMA, kami melanjutkan kuliah di Pendidikan Khusus Universitas Negeri Jakarta melalui Jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi (SBMPTN). Selama kami kuliah, teman-temannya dapat memahami kondisi kami sebagai disabilitas autis meskipun tidak semua dosen disana dapat memahami kondisi kami, baik di prodi ini maupun prodi lain, khususnya mata kuliah umum. Meskipun kami sempat mengulang mata kuliah yang tidak tuntas, terkadang ada juga mata kuliah yang harus diremedial. Selama itu, kami pernah mengikuti organisasi Sigma TV UNJ (walau hanya bertahan satu tahun kepengurusan karena ingin jadi pengurus dan mengusulkan teman Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) menjadi ketuanya), KMK Sacra Familia UNJ, dan FIP English Club UNJ. Sedangkan Untuk biaya kuliah, kami mengikuti program beasiswa, yaitu saya mendapat beasiswa Karya Salemba Empat, sedangkan kembarannya mendapat beasiswa dari Pemprov DKI Jakarta, yaitu Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU). Untuk lebih lengkap tentang pengalaman kuliah kami hingga semester VIII ada di video ini:
Selama kuliah, kami pernah Praktik Mengajar di SLB Pelita Hati secara daring karena Pandemi. Pemilihan Sekolah untuk Praktik Keterampilan Mengajar (PKM) ini berdasarkan pertimbangan dosen karena sekolah tersebut dapat menerima individu autistik sebagai tenaga pengajar. Saat mengajar disana, saya pernah dihadapkan dengan anak yang mudah tantrum saat belajar. Dengan ini, kami dapat belajar untuk melatih kesabaran dalam mengajar.