Juventus baru saja mencetak rekor dan sejarah sebagai tim pertama di Italia dan Eropa (di antara 5 liga terbaik) yang menjuarai liga 8 kali berturut-turut. Meski tidak bermain dengan baik, namun kemenangan 2-1 atas Fiorentina di Allianz Juventus Stadium, Sabtu (20/4) malam membawa tim kesayangan Italia ini meraih Scudetto-nya yang ke 35 (resmi dalam catatan FIGC) dan yang ke-8 beruntun sejak musim 2011/12 yang lalu. Walau masih menyisakan 5 pertandingan lagi, Napoli sebagai tim di peringkat 2 tak mungkin lagi mengejar selisih 20 poin meski masih memiliki 1 pertandingan lebih sedikit dari Juventus.
Dominasi Juventus di Serie A memang tidak terbantahkan. Namun sayangnya, dominasi tersebut tidak bisa dicerminkan kala Juventus kala bertanding di pentas Eropa. Selama 8 tahun terakhir menancapkan kuku dinasti di negeri pizza, prestasi terbaik Juventus di Eropa hanya 2 kali menjadi runner-up UCL di musim 2014/15 dan 2016/17. Walau mendatangkan mega bintang Cristiano Ronaldo di awal musim 2018/19 ini, mimpi Juve meraih gelar tertinggi di Eropa masih belum bisa terealisasi. Hal yang membuat sebagian fans Si Nyonya Tua menganggap gelar Scudetto kali ini sebagai suatu yang hambar, meskipun gelar juara itu merupakan sebuah rekor klub, liga, bahkan benua.
Tetapi perlu disadari bahwa menjuarai UCL tidaklah semudah mendatangkan CR7 dan memiliki CR7 dalam tim bukanlah satu-satunya penyebab sebuah klub dapat menjuarai UCL. Memang CR7 sudah memenangi 5 gelar UCL sepanjang karirnya sebelum berlabuh di Juve, namun bukan berarti itu diperoleh secara instan. Real Madrid yang memboyongnya dari Manchester United di musim 2009/10 demi membantu Los Galacticos meraih La Decima (gelar UCL ke-10) pun baru dapat diwujudkan di musim kelimanya. Tiga gelar UCL beruntun dari musim 2015/16 hingga 2017/18 yang diperoleh Madrid pun bukan semata-mata karena Ronaldo, walau dia memegang peranan kunci bersama pelatih Zinedine Zidane kala itu.
Dominasi di liga domestik pun bukan berarti bahwa skuad sebuah tim layak menjuarai UCL. Manchester United versi Sir Alex Ferguson bisa dijadikan contoh. Selama berkarir sebagai manajer Si Setan Merah untuk kurun 27 tahun, MU berhasil meraih 13 gelar Liga Premier Inggris, 5 gelar Piala FA, dan 4 Piala Liga. Hasil yang sangat gemilang pada waktu itu, dan rekor yang akan sulit dipecahkan oleh pelatih manapun. Namun selama masa itu, MU hanya bisa mencapai final UCL sebanyak 4 kali dan mampu memenangkan 2 di antaranya. Juara UCL bagi tim sekelas MU kala itu pun tidak semudah menjuarai Liga Inggris dan piala-piala domestik.
Hal yang sama juga bisa dikatakan bagi Bayern Munich. The Bavarian merajai Bundesliga dalam 6 tahun terakhir. Mungkin musim ini pun gelar Bundesliga akan tetap ada dalam genggaman FC Hollywood untuk yang ketujuh berturut-turut. Namun prestasi mereka di UCL juga tidak bisa dikatakan baik. Meraih juara UCL di awal periode dinasti mereka saat ini di musim 2012/13, setelah itu mereka tidak lagi bisa masuk final. Meski kerap melengkapi skuat dengan pemain-pemain berkualitas kelas dunia tidak membuat Bayern Munich bisa berprestasi konstan di ranah Eropa.
Contoh lain adalah Paris St. Germain (PSG) yang sama seperti Juve juga mendominasi di liga domestik. PSG juga baru saja meraih gelar Ligue 1 ke-6 mereka dalam kurun 7 tahun terakhir. Hanya Monaco yang mampu mengganggu kejayaan PSG di tanah Perancis pada musim 2016/17. Membeli pemain-pemain berkualitas seperti Zlatan Ibrahimovic, mega bintang Neymar dengan harga transfer termahal dunia dan juga melengkapinya dengan bintang muda Kylian Mbappe tidak membuat PSG bisa menjuarai UCL, bahkan masuk final pun tidak pernah. Berulang kali mengganti pelatih dari pelatih juara seperti Carlo Ancelotti, Unai Emery sampai dengan Thomas Tuchel yang menangani tim saat ini tidak mampu memperbaiki rekor PSG di UCL.
Kualitas kompetisi domestik yang rendah kala sebuah tim mampu merajai liga selama bertahun-tahun terkadang disebut sebagai penyebab tim sulit berprestasi di Eropa. Tidak sepenuhnya benar, Inter Milan yang merajai Serie A kala sedang kembali bangun paska Calciopoli mampu meraih treble winner di musim 2009/10. Tetapi apa yang ditunjukkan Bayern Munich, PSG, dan Juventus sebenarnya menunjukkan bahwa kualitas kompetisi lokal juga memegang peranan dalam menciptakan tim yang mampu berprestasi di Eropa. Adanya pemain-pemain bintang dalam tim tentu membantu meningkatkan kualitas tim untuk bersaing di Eropa namun bukan keniscayaan untuk meraih gelar UCL. Menggonta-ganti pelatih demi menjuarai UCL pun belum tentu berbuah hasil seperti yang diharapkan.
Scudetto 8 kali beruntun bukan lah hal yang mudah diraih meski lawan-lawan di liga domestik memiliki kualitas di bawah Juventus saat ini. Mimpi meraih juara UCL tidak seharusnya menurunkan semangat Juventini untuk tetap merayakan rekor dan sejarah yang ditorehkan tim kesayangannya. Dominasi Juve di Serie A juga nampaknya akan terus bertahan hingga 2-3 musim mendatang. Gelar juara apapun itu sebaiknya tetap dirayakan para fans karena para pemain sudah berjuang penuh untuk memenangkannya dan taka da kegagalan di kompetisi lain yang mengurangi rasa bahagia akan hal itu. Target tinggi tetap perlu dipasang agar pemain tetap memiliki tujuan untuk berjuang. Perbaikan perlu dilakukan agar siap mempertahankan gelar juara dan merebut gelar lainnya demi target tinggi tersebut. Musim depan kejar lagi rekor lain dan jika beruntung mimpi gelar UCL pun bisa diraih.
Fino alla fine! Forza Juve!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H