EQ atau EI, emotional intelligence (kecerdasan emosional)adalah sesuatu yang dapat dipelajari. Kerap kali saya menemukan kenyataan di dalam kehidupan bermasyarakat yang ditonjolkan tentang EQjustru cenderung untuk “me-label” seseorang atau kelompok orangdengan umpatanEQ jongkok, dan seterusnya yang justru jauh dari semangat dan nilai-nilai positif yang hendak ditonjolkan untuk bersama-sama belajar EQ.
Pada kenyataannya, memangada ukuran-ukuran yangdikembangkan oleh pakar yang mendalami EQ untuk membagi zona EQ menjadi lima zona yang kerap dikenal sebagai five performance bands (vulnerable, emerging, functional, skilled dan expert). Jadi ukuran tersebut bukan menyangkut apakah seseorang memiliki EQ jongkok atau EQ yang tinggi.Dengan mengetahui di mana zona kinerja seseorang berada, maka akan ada banyak kesempatan bagi seseorang yang mempelajari EQ untuk senantiasa belajar menjadi lebih baik. Demikianlah saya berani mengatakan, belajar EQ adalah sesuatu yang sifatnya lifelong learning, bahkan untuk mereka yang “nyemplung” langsung di dunia EQ baik sebagai akademisi yang mendalaminya maupun praktisi yang terlibat langsung dalam coachingEQ.
Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sapaan-sapaanseperti:
Selamat pagi !
Apa kabar ?
Bagaimana kabar Anda ?
Dan seterusnya, merupakan sapaan atau ucapan yang kerap dijumpai. Namun pernahkah terbayang ketika dalam suasana kerja yang normal pada pagi hari tiba-tiba atasan Anda masuk ke ruang kerja Anda dan mengatakan hal seperti ini: “Selamat pagi Andre ! Bagaimana perasaan kamu pagi ini ?”
“How do you feel ?”
Pertanyaan yang demikian memang bukan menjadi bagian yang umum dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Tolong koreksi jika pengamatan saya ini salah. Jika adapun yang bertanya demikian, pasti yang ditanya juga akan berpikir-pikir untuk menjawabnya dengan wajar.
Bagaimana dengan kehidupan sekolah ? Apakah para guru ada yang menanyakan hal seperti itu kepada para siswa ?
Bagaimana, misalnya dengan Pak Ahok sebagai Gubernur DKI, pernahkah menanyakan hal tersebut kepada jajaran eselon yang bekerja menjalankan roda pemerintahan di DKI Jakarta ?
Padahal pertanyaan inilah yang menjadi awal untuk mengenali emosi dan selanjutnya menjadi sesuatu yang penting dalam tahap awal belajar EQ : “Self Awareness”.
Cukup lama sudah, almarhum Robert Plutchik seorang psikolog pada Albert Einstein College of Medicine dan dosen tidak tetap pada University of South Florida mengembangkan model yang dikenal sebagai Plutchik’s Wheel of Emotion (Roda Emosi Plutchik). Model yang dikembangkan Plutchik ini sangat membantu untuk mengenali emosi. Sekali lagi, yang paling penting dalam menggunakan model ini adalah kenali emosi pada diri sendiri. Bahkan untuk mengenali emosi pada diri sendiri ada berbagai kendala yang dihadapi oleh seseorang. Bahasa kadang-kadang juga membatasi pengenalan emosi yang tepat. Bayangkan saja, banyak ditemukan pernyataan bahwa pemimpin sebaiknya tidak emosional. Apa yang hendak disampaikan dengan pernyataan: “Sebaiknya, pemimpin tidak emosional ketika berbicara di depan publik.” Usut punya usut ternyata yang dimaksud adalah “marah-marah”.
Marah memang adalah salah satu emosi dasar pada manusia dari delapan emosi dasar berdasarkan model yang dikembangkan Plutchik. Tapi tahukah bahwa bahkan “marah” itu juga memiliki tingkatan atau intensitasnya: jengkel, sedikit intensitasnya di bawah marah. Kalau “mengamuk” nah ini intensitasnya paling top sudah di dalam model Plutchik.
picture.webspier.com/pictures_of_feelings_and_emotions.html
Ayo kita lihat model yang dikembangkan Plutchik ini untuk membantu diri sendiri mengenali emosi secara tepat. Plutchik membagi emosi dasar menjadi delapan jenis yaitu: joy (gembira), sadness (sedih), trust (percaya), disgust (muak), fear (takut), anger (marah), surprise (terkejut), anticipation (antisipasi).
www.fractal.org/Bewustzijns-Besturings-Model/Nature-of-emotions.htm
Masing-masing emosi dasar tersebut memiliki intensitasnya. Misalnya: anger masih dapat dibedakan sebenarnya antara annoyance (jengkel), anger (marah) dan rage (mengamuk).
Berikut versi bahasa Indonesianya:
upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/b/b9/Roda-Emosi-Plutchik.png
Nah, dari emosi dasar itulah berkembang jenis emosi lainnya. Dengan model Plutchik sebenarnya dibuat sederhana bahwa love (cinta) adalah ketika joy dan trust hadir. Disapproval (kecewa) adalah kombinasi dari sadness dan surprise.
Nah, demikian sedikit sharing saya tentang hikmah belajar EQ. Masih banyak sebenarnya. Tapi intinya bagi saya belajar EQ adalah belajar sepanjang hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H