Lihat ke Halaman Asli

Andre Jayaprana

TERVERIFIKASI

write and share

Kisah Setahun Dua Penerbangan

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1415367837276930858

Cukup terbirit-birit juga ketika harus menuju ke terminal 1 Bandara Changi, Singapura. Dan persis mencapai check-in counter JAL  sesuai dengan janji temu dengan boss: 3 jam sebelum keberangkatan. Jelas saja terbirit-birit, tadinya sih menganggap enteng karena toh rumah lokasinya cuma dekat saja ke Ferry Terminal Batam Center  untuk menyeberang ke Harbourfront Singapura. Tiba-tiba cuaca Batam yang cerah mendadak menjadi mendung….Tanpa berpikir panjang segera meluncur ke Ferry Terminal dan untung ferry yang menjadi langganan kantor itu pas ada jadwal berangkatnya tidak lama setelah aku tiba.

Dokumen Pribadi - Ilustrasi

Memang begitulah repotnya melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang. Tiba di bandara harus beberapa jam sebelumnya supaya check-in aman. Apalagi kalau tinggal di seberang Singapura dan harus pergi ke LN untuk urusan perusahaan. Tiba di Harbourfront lebih awal dipikir sudah aman, ternyata antrian imigrasi sore itu cukup panjang dan seperti biasa tontonan menarik selalu ada, itu loh beberapa orang disuruh keluar dari antrian untuk masuk ke kantor imigrasi (mungkin memang sudah prosedur tetap di Harbourfront begitu). Sore itu mendung dan benar saja mulai gerimis ketika ferry merapat di Harbourfront. Aku berjalan santai saja menuju ke tempat menunggu taxi selepas dari imigrasi tanpa hambatan. Tapi inilah kondisi yang tidak kuantisipasi sebelumnya: gerimis dan mendung yang pekat sore-sore…, ketika tiba di tempat menunggu taxi: kosong !

Tidak ada satu taxi pun yang stand-by sementara masih ada tiga orang lagi menunggu taxi. Setelah menunggu beberapa menit, karena memang ada taxi yang melintas tetapi sudah ada penumpangnya, akhirnya aku menyeret koper ke bagian lain gedung tempat biasanya taxi menurunkan penumpang…akhirnya dengan sedikit usaha ini aku berhasil mendapatkan taxi dan meluncur ke Changi.

Aaah, Andre-san begitu sang boss menemukan diriku di antrian check-in JAL. Rupanya ia sudah lebih dulu tiba tapi tidak melihatku langsung menuju counter check-in. Begitulah sambil menunggu check-in dan berbincang dalam antrian, tiba-tiba aku mendengar sayup-sayup suara memanggil Mr. Jayaprana, masih tidak yakin juga aku berusaha fokus mendengar dan sekali lagi panggilan Mr. Jayaprana…celingak-celinguk sebentar karena bingung, aku pun bertanya ke pada boss ku…apakah ia mendengar namaku dipanggil…Ya katanya, dan sekali lagi suara memanggil itu ternyata berasal dari petugas counter check-in JAL sebelah antrian kami. Yes, yes kataku. Aku menuju ke counter petugas. Petugas check-in menanyakan apakah aku bersama Mr. OK (singkatan nama boss ku – sorry nggak bisa nyebut hihi…), ya kataku. Petugas bertanya apakah boss ku itu sudah tiba… Ya jawabku sambil memanggil sang boss. Begini kata petugas itu kepada kami berdua, ia berharap kami berdua dapat menerima compliment dari JAL untuk free upgrade dari kelas ekonomi yang sudah kami beli tiketnya ke business class. Petugas juga menjelaskan kepada kami tidak ada yang perlu diurus untuk free upgrade ini, ia akan menyelesaikan proses check-in seperti biasanya dan menerbitkan boarding pass business class JAL kepada kami berdua. Aaaaaaaaaah…..yes! yes! (teriakku …dalam hati). Petugas melanjutkan, silakan nanti tunjukkan boarding pass ke premier lounge yang bekerja sama dengan JAL di terminal 1 Changi tersebut untuk dapat menunggu penerbangan di premier lounge tersebut…Aaaaaaah yes! (teriakku lagi…dalam hati). Apakah ada hal yang Anda berdua belum pahami ? Tanya petugas. Kami menjawab paham dan mengucapkan terima kasih banyak atas kesempatan yang baik itu.

Entah bagaimana perasaan boss ku itu, tapi aku tahu sih setiap ia pulang ke Tokyo untuk keperluan cuti atau pekerjaan sekalipun mana ada ia pesan tiket kelas bisnis begitu. Tapi untuk aku sendiri baru sekali itulah dari begitu banyak penerbangan, aku mengalami kemanjaan di kelas bisnis penerbangan jarak jauh (lebih kurang 7 jam) dari Changi ke Narita. Duduk di kursi penumpang dengan desain bagaikan kapsul itu ibarat ulat yang dimanja dalam kepompong hihihi…Apalagi untuk ukuran tinggi badan sepertiku ditambah dengan kursi yang dilengkapi dengan sistem massage serta pelayanan awak kabin kelas bisnis yang sangat ramah dan penuh pengertian…Penerbangan malam itu menjadi sesuatu yang sungguh sangat berkesan dan tak terlupakan.

Enam bulan sebelumnya, dalam penerbangan yang lain, aku berada di kursi deret pertama sayap kiri. Berada di deret pertama seperti itu adalah keuntungan sendiri bagiku mengingat kaki bisa agak leluasa. Aku duduk di kursi tengah deret pertama itu. Sementara di sebelah kananku, di dekat gang yang langsung nampak ruang pilot, duduk seorang ibu warga Jepang yang melalui perkenalan singkat mengatakan bahwa ia memiliki usaha di Bali, aku sebut saja di sini Lady J. Di sebelah kiriku (duduk dekat jendela), seorang bapak lewat setengah baya memakai celana berbahan jeans ketat dan mengenakan jaket kulit (kalau tidak salah warna coklat). Suaranya khas sekali suara penyiar radio yang berat dengan rambut disisir rapi ditarik ke belakang, kaca mata rayban yang ia kenakan baru dilepas begitu pesawat sudah dinyalakan mesinnya. Ia hanya mengenalkan diri sebagai pengusaha. Logat Melayunya begitu kental apalagi ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris dengan Lady J. Sebut saja si bapak ini Pak M. Jadi begitulah ketika mesin pesawat sudah mulai menyala, Lady J berbisik sesuatu kepadaku, apakah aku mendengar apa yang menimpa maskapai penerbangan ini seminggu sebelumnya ? Aku jawab ya…aku sudah tahu apa yang terjadi seminggu sebelumnya. Lady J mengatakan bahwa ia baru tahu kabarnya dari orang di bandara ketika ia membeli tiket.

Lady J memang buru-buru ke Jakarta begitu tiba di Batam dari Singapura, jadi ia membeli tiket dengan jadwal penerbangan yang paling dekat keberangkatannya dengan kedatangan dirinya di bandara. Pak M rupanya mendengar bisik-bisik kami. Ia mengatakan bahwa dirinya juga sudah mendengar hal itu tetapi tetap harus berangkat ke Jakarta secepatnya dan cuma pesawat yang kami naiki ini yang cocok jadwalnya, jadi ia tetap berangkat. Sekilas aku melihat roman muka keduanya berubah aneh…Lady J kembali berbisik, jadi betul demikian ? Ya, jawabku. Tujuan penerbangan kami saat itu adalah Jakarta. Sesekali kami bertiga mengeluarkan candaan sambil berbisik-bisik. Bukan candaan tentang penerbangan kami sih…tapi hal-hal kecil sehari-hari…Tetap saja tidak merasa enak karena begitu senyapnya penerbangan ini. Sesekali kondisi turbulensi terjadi, roman wajah awak kabin yang cantik sekalipun tampak tertutup oleh gelisah yang entah apa tapi mungkin aku dapat pahami. Pak M dengan celana berbahan jeansnya yang ketat tiba-tiba mengeluarkan dompetnya dari celana…Pak M penampilannya memang perlente, beda dengan diriku yang seperti backpacker seperti biasanya. Lady J yang melihat dompet itu berkomentar: astaga dompetmu, apa nggak sebaiknya sudah diganti dengan yang baru !!?? Roman wajah cemas Pak M segera berganti senyum lembut, mana bisa kuganti dompet ini sampai kapanpun karena dompet itu adalah pemberian istrinya (kalau tidak salah, sudah meninggal).  Jadi begitu sentimental arti dompet kulit itu untuk Pak M…

Satu hal yang ditanya Lady J kepada diriku, mengapa aku memilih maskapai ini untuk menuju Jakarta. Ia pun kaget. Tanggal 1 Januari 2007 pagi-pagi, aku pergi ke bandara membeli tiket budget airline ini (karena harga tiket dan jadwalnya memang paling OK dibanding semua maskapai yang ada saat itu – jadi kebetulan paling cocok saja kondisinya dengan kebutuhanku saat itu), sore hari, pemberitaan di TV sempat membuatku kecut tentang apa yang baru menimpa maskapai ini. Namun entah mengapa tidak ada niat apapun untuk membatalkan tiket yang sudah kubeli dan aku tetap terbang sesuai jadwal.

Hari itu, pesawat itu penuh penumpang. Pak M, Lady J dan diriku bersama semua penumpang dan awak pesawat tiba dengan selamat di Jakarta. Terima kasih Tuhan (dalam hatiku, aku berseru). Itulah satu catatan kecil penerbanganku dengan maskapai KI/DHI (tiada maksud apapun bila kisah menyedihkan ini terungkit kembali selain untuk menulis dan merasa bahwa diriku sebagai manusia sesungguhnya memang tiada berdaya, apalagi di udara/angkasa. Aku percaya akan perlindunganNya walau hidup bagai roda yang berputar sekalipun).

Itulah kisah setahun dua penerbangan pada tahun 2007.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline