[caption id="attachment_390061" align="aligncenter" width="560" caption="Kartun karya MacLeod yang dirilis sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban tewas serangan bersenjata ke kantor koran satir Charlie Hebdo, Paris, Perancis, Rabu (7/1/2015). Tiga orang bersenjata api menyerang kantor Charlie Hebdo, menewaskan 12 orang. (foto.kompas.com)"][/caption]
Prabowo Subianto dalam akun Facebook-nya hari Kamis, 8 Januari 2015 lalu menyatakan mengutuk dan mengecam peristiwa teror yang mengakibatkan 12 orang tertembak mati di Paris. Perihal Charlie Hebdo tentu saja. Satu hal yang menarik adalah pernyataan Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa penembakan terhadap orang yang tidak bersenjata adalah tindakan biadab. Demikianlah pernyataan beliau, yang menurut pendapat saya sangat khas dan konsisten dengan latar belakang beliau yang pernah mengabdi pada TNI itu. Tentu saja muncul pro dan kontra sehubungan dengan pernyataan beliau tersebut.
Sedikit mengenal tradisi moral Katolik, dalam suatu paper yang berjudul The Lesser Evil, Insights from the Catholic moral tradition karya James T. Bretzke ada disebutkan bahwa suatu tindakan dengan karakter moral mencakup tiga unsur sebagai berikut: tindakan itu sendiri, intensi dari pelaku dan kondisi yang berlaku. Ketika gereja menyatakan bahwa suatu tindakan adalah “intrinsically evil”, maka hal tersebut mencakup ketiga unsur tersebut. Misalnya, meskipun kematian adalah hasil dari baik “homicide” (the killing of one human being by another human being) dan “murder” (a form of criminal homicide), maka para moralist tidak akan menyatakan bahwa setiap “homicide” adalah dosa dan tak bermoral, tetapi sebaliknya untuk “murder”.
“Murder” sesuai definisinya mencakup intensi atau niat untuk membunuh. Akan tetapi niat dan kondisi dapat mengubah arti dari tindakan itu sendiri, sehingga seseorang tidak akan memperoleh arti moral dari tindakan tanpa memberikan cukup perhatian kepada niat dan kondisi.
Adalah suatu fakta yang menarik, pada bulan Maret 2014 lalu, baru untuk pertama kalinya suatu laporan tentang tren global tentang kecerdasan emosional diterbitkan oleh Organisasi 6seconds (www.6seconds.org). Dengan mengandalkan database dari 75.000 assessment, suatu sample yang bersifat global kemudian diolah untuk menghasilkan perbandingan yang layak tentang kecerdasan emosional dari tahun 2011 hingga tahun 2013 dan mencakup 3 wilayah besar dunia, yaitu Asia Pacific, Amerika dan Eropa-Timur Tengah dan kesimpulan nomor satu yang diperoleh adalah:
“Globally, emotional intelligence is declining”
Skor kecerdasan emosional (EQ) secara global menurun dengan tingkat penurunan 1% per tahun dengan skor empathy sebagai kontributor paling signifikan penyebab penurunan disusul dengan faktor pengendalian emosi dan faktor kemampuan menerapkan optimisme. Organisasi 6seconds mengartikan penurunan skor empathy ini sebagai: “people are less able to connect and collaborate”. Sedangkan penurunanskor pengendalian emosi terkait dengan:“people are more volatile” dan penurunan skor faktor kemampuan menerapkan optimisme dikaitkan dengan: “people are less able to innovate”.
Charlie Hebdo, jauh sebelum peristiwa biadab yang terjadi baru-baru ini seharusnya sudah dapat membaca tanda-tanda yang akan terjadi. Tidak perlu membaca hasil penelitian yang diungkap oleh Organisasi 6seconds karena Charlie Hebdo cukup mengalami sendiri apa yang terjadi jauh sebelum peristiwa teror yang mengakibatkan 12 orang tertembak mati.
Momen Charlie Hebdo adalah satu lagi pembuktian bahwa tren global kecerdasan emosional sepertinya terus menurun. Saya berpendapat, peristiwa teror yang mengakibatkan 12 orang tertembak mati adalah tindakan pembunuhan yang biadab terlepas dari apakah itu penembakan terhadap orang yang tidak bersenjata ataupun bukan (lihat saja bagaimana teroris tersebut menghabiskan nyawa polisi yang sudah tergeletak tidak berdaya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H