Lihat ke Halaman Asli

Perantau di Ranah Rantau

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

sengaja bercerita sedikit pengalaman untuk dirimu, dimanapun kau berada, siapapun dirimu, kawan.

Bersamamu kuhabiskan waktu.. senang bisa mengenal dirimu. Rasanya semua begitu sempurna..sayang untuk mengakhirinya. Janganlah berganti, janganlah berganti, janganlah berganti, tetaplah seperti ini (Sahabat Kecil – Ipang). Lagu ini aku dedikasikan untukmu kawanku, yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu mulai aku kecil, sewaktu di taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah, hingga di bangku kuliah sekarang..

Memang benar kata orang, “Pergi merantau maka akan dapat banyak kawan dan lawan, di situlah letak jembatan rezeki seseorang”. Seorang perantau memang begitu, namun ketika keadaan tak bersahabat, aku justru melakukan apa yang telah menjadi ambisiku. Hal yang salah tapi tetap aku lakukan selama ini. Tak disangka ternyata aku sangat egois dibalik semua tingkah lakuku selama ini kepada semua orang. Rasa sesal, kurang bahagia, sering murung mungkin hasil perbuatanku tadi. Ingatkah engkau perantau, engkau memang seorang yang tegar, punya nyali, nekat, tak gampang menyerah pada keterbatasan. Sudahi keegoisamnu nak, tujuanmu pasti tercapai. Ikhtiarmu, ikhlasmu pasti akan dibayar nak, tawakkal pada Yang Kuasa membuatmu kuat hadapi tantangan dunia ini.

Kawan, cerita di atas adalah kisahku dulu waktu aku pertama kali merantau. Sekarang, pelajaran demi pelajaran di rantau orang semakin banyak aku dapatkan. Aku dapat membenahi kekuranganku kawan, walau agak sulit menghilangkannya, aku harus paksa diriku sendiri untuk berubah. Aku tak ingin  menjadi orang yang kolot, yang terkungkung dengan masalah dan keasyikanku sendiri, aku ingin berubah karena setiap keadaan tak ada yang tetap kawan, yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Kawanku, aku selalu teringat dengan tutur kata ibuku sewaktu aku akan pergi merantau, “…berbuat baiklah kamu di rantau orang, karena semua orang adalah keluargamu..” Rindu aku dengan kata-kata ini kawan, ingin aku mengulangi perjalananku ketika aku dulu pertama kali merantau, dan sebelum itu aku berjuang mati-matian mengejar impianku di salah satu universitas favorit negeri ini. Kau tahu kawan, orang dibelakangku yang tegar, tak pernah mengeluh, dan selalu mencambukku dengan seribu ocehan bermakna dalam, orang itu adalah ibuku kawan. Kawan, aku tanya kepada dirimu, siapakah orang yang paling setia setiap saat di dunia ini menurutmu kawan? orang nomor satu dibelakangmu kawan??

Perantau memang unik. Bahasa, budaya, dan latar belakang yang berbeda menyatu di ranah perantauan. Segalanya disatukan dengan hegemoni kekeluargaan. Benar kawan, ketika engkau merantau jangan sekali-kali segalanya tak memerlukan orang lain, bisa musnah kau dihantam angin puting beliung, dan hal ini juga sudah termaktub dalam sebuah syair dangdut jawa, seperti lirik lagu Didi Kempot-Stasiun Balapan, rasane koyo wong keilangan (rasanya seperti orang kehilangan). Bukan sombong kawan, kini aku telah memiliki banyak keluarga di perantauan. Teringat dengan cerita waktu aku pindah kost ke tempat lain kawan, aku tak sanggup meninggalkan tempat kostku yang lama. Keluargaku sudah terlanjur terbentuk di sana, kasih sayang yang telah mengalir sulit untuk dibenci kawan. Setelah sebulan aku di kost yang baru, aku memutuskan pindah ke kost yang lama lagi. Pasalnya aku gerah di kost yang baru, pemilik kost tidak sebaik ibu kostku dulu. Beginilah nasib perantau, walau belum bayar kost selama 5 bulan, ibu kostku tidak pernah menagih, bahkan beliau bersedia meminjamkan uang kepada kawan-kawanku di kost. Beruntunglah aku yang selalu bayar kost tiap bulan walau tak tepat waktu dan sering di tanggal yang acak. Inilah kawan yang membuat aku betah dengan kostku yang lama. Cerita dan cenat-cenutku sudah terbentuk di sana.

Kawan, jika kau seorang perantau maka kau harus punya suatu keahlian. Sangat dibutuhkan seorang perantau yang memiliki spiritperformancehigh skills, dan dedicate. Keahlian mutlak bagi sebagian anak kost adalah memasak. Benar kawan, mengapa memasak begitu sangat diminati oleh dirimu yang tinggal di kost. Tak lain karena kita adalah perantau, tahu sendirilah dirimu. Memasak tanpa adanya spirit tak akan menunjukkan performance kita pada hal yang paling kita cintai ini, terutama bagi  dirimu yang tinggal di kost.  Tak akan ada nasi dan telur ceplok plus mie rebus jika perlu, ditambah seduhan teh atau kopi dipadu dengan creamer plus sedikit gula yang akan menemani hari-harimu kawan. Tak harus selalu menu seperti itu kawan, anak kost tidak melekat pada makanan seperti itu, justru seorang perantau diwajibkan memiliki perilaku pola makan dan hidup sehat. Kalau tidak, kau tak akan bersemangat hadapi tantanganmu. Bagiku, cukuplah memasak hanya sebagai sarana untuk olah rasa, pikiran, dan gerak, tak perlu dijadikan kebutuhan utama. Senang rasanya bila masakan terasa pas mantap di lidah kawan. Dibutuhkan high skills untuk membuat nasi level satu, telur ceplok gurih, mie tanpa ayam dan pangsit, teh tak tawar, dan kopi cap jempol. Jika kau ingin tertawa membaca tulisan ini maka tertawalah kawan sebelum tertawa itu dilarang, jangan kau tahan tertawamu, biarkan senyum manis mengurai masalahmu. Terakhir, tanpa dedicate jangan harap kau akan menikmati apa yang kau inginkan.

Kawan, di ranah rantau aku mencoba untuk tak pernah melupakan orang-orang di sekelilingku, orang-orang yang telah membantuku merangkak, berdiri, bahkan berlari.  Semangatku muncul ketika aku bersama orang yang berani menantang hari-harinya, bersama orang yang memiliki keterbatasan namun tak gampang menyerah, bersama orang yang selalu menunjuki aku jalan yang benar. Sayang seribu sayang, kelemahanku sering mendatangiku, hidup selama 20 tahun lebih tak cukup membuat kondisiku stabil, keinginan yang meletup-letup tak sempat aku kejar, seolah-olah tubuhku apatis dihantam limbungnya kelabilan yang melanda orang-orang muda. Tapi tak apa, aku masih bisa merasakan tawa keluargaku di rantau. Hangat di hati ini bila bisa tertawa bersama denganmu kawanku. Ranah rantau telah membuatku sedikit dewasa. Ada yang hilang, jika di ranah rantau tanpa dirimu kawan.

Ada yang hilang dari perasaanku, yang terlanjur sudah kuberikan padamu, ternyata aku tak berarti tanpamu, berharap kau tetap disini, berharap dan berharap lagi (Ada yang Hilang - Ipang).

Di ranah rantau mozaik-mozaik itu harus kita rangkai kawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline