Indonesia sebagai bangsa besar memiliki banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Namun, hingga saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih hidup di bawah standar kehidupan layak.
Tingkat kemiskinan yang masih terbilang tinggi merupakan serangkaian pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan. Sejatinya, untuk menuju Indonesia yang sejahtera tentunya kita tidak dapat hanya bergantung pada pemerintah semata, kolaborasi dari seluruh elemen bangsa sangat dibutuhkan untuk mewujudkannya.
Indonesia sejahtera akan terwujud apabila kita kembali kepada warisan luhur budaya bangsa, yaitu gotong royong. Dalam konteks sosial politik “kekinian”, gotong royong dapat kita mulai dengan mengurangi “sentimen” antar tokoh, lembaga, maupun organisasi.
Kepentingan dan konflik memang tidak dapat dihindari, untuk itu alangkah baiknya kita belajar dari sejarah. Kita harus belajar bagaimana pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia terdahulu berhasil meredam ego masing-masing untuk lebih mengedepankan persatuan. Sehingga atmosfer gotong royong dapat tercipta yang selanjutnya terimpartasi kepada seluruh bangsa Indonesia.
Saat ini, hampir setiap harikita disuguhkan oleh sandiwara di tataran elit. Mulai dari kegaduhan di Istana Negara, konflik di lembaga legislatif, konflik partai politik, hingga sederet kasus korupsi.
Semuanya ini terimpartasi kepadamasyarakat sehingga memunculkan respon negatif. Perasaan curiga,ketidakpercayaan, kekecewaan, hingga apatisme terhadap pemerintah maupun partaipolitik serta proses-proses politik menjadi konsekuensi atas apa yang dilakukanoleh elit-elit negeri ini.
Semua yang berada dalam koridor politik telah terstereotipe sebagai sesuatu yang buruk, licik, tidak jujur dan sebagainya. Hingga muncul satu kesimpulan umum yang menjadi paradigma masyarakat bahwa, politik itu “kotor”.
Paradigma semacam itu jika dibiarkan akan mengeliminasi spirit dari politik yang sesungguhnya, yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi masyarakat.
Selanjutnya, hal ini akan berimbas kepada tokoh-tokoh, lembaga, maupun organisasi yang sebenarnya masih memegang spirit itu dan bertujuan baik atau ingin membuat suatu kebaikan untuk bangsa dan negaranya. Hal baik apapun yang mereka lakukan, akan dengan mudah dicap sebagai hal “politis”, sebagai pencitraan, sebagai kebohongan.
Sebagai contoh, tokoh yang namanya sering kita dengar, sebut saja Hary Tanoesoedibjo. Siapa yang tidak kenal, Ketua Umum Perindo yang marsnya setiap hari kita dengar di televisi.
Memang Hary Tanoesoedibjo (HT) dengan Perindonya dapat dibilang sebagai pendatang baru di arena politik Indonesia. Namun, paradigma negatif masyarakat terhadap politik secara otomatis juga ikut menghampiri HT. Program-program yang dijalankan oleh HT dan Perindo seringkali direspon “nyinyir” oleh sebagian orang.