Lihat ke Halaman Asli

A. S. Narendra

Tunggu sebentar, tulisan belum selesai diketik...

Sukarno dan Suharto, Pemimpin nan Mabuk

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mabuk, tahukah kau apa itu mabuk wahai saudaraku? Menurut KBBI, mabuk berarti berasa pening atau hilang kesadaran; berbuat di luar kesadaran; lupa diri; sangat gemar (suka).

Sebuah kitab suci menjelaskan kata mabuk dengan indah “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (Kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

Dua penjelasan di atas berbeda dalam menjelaskan kata “mabuk”. KBBI menjelaskan perihal kuantitas (terlalu banyak), kehilangan kesadaran, dan berbuat di luar kesadaran diri, namun kitab suci menjelaskan awal mula proses mabuk serta isyarat bahwa dalam proses pembentukan mabuk tersebut terkandung isyarat Tuhan bagi orang yang memikirkan. Dalam hal ini, penulis tidak jauh beda dalam menjelaskan proses mabuk, keadaan mabuk, hingga hal-hal yang muncul diakibatkan karena keadaan mabuk tersebut.

Semua berawal dari pertemuan penulis dengan pengajar Bahasa Arab di sebuah tempat ibadah. Penulis memiliki rekaman nasihat berbahasa Arab yang diperoleh dari seorang teman yang tidak bisa berbahasa Arab. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak dapat berbahasa Arab mampu memberikan nasihat dalam bahasa Arab? Pengajar bahasa Arab tersebut mengawali pembahasannya bahwa bisa jadi teman yang tidak bisa berbahasa Arab tersebut sedang mabuk, bukan hanya mabuk, namun dia menyebutnya jadzab (gila), atau bisa dialihbahasakan dengan “ekstase”.

Jadzab dalam kamus bahasa Arab berarti menarik, sedang obyeknya disebut Maf’ul Majdzub, orang gila yang berkeramat. Orang yang mengalami keadaan jadzab disebut Majdzub. Hal yang menjadi perhatian penulis adalah bahwa Sang pengajar Bahasa Arab memberi contoh salah seorang Majdzub di Indonesia adalah Bung Karno yang mengalami mabuk nasionalisme. Selain Bung Karno, tentu ada banyak pemabuk-pemabuk lain yang mabuk karena berbagai hal.

Sebagai seorang pendiri Bangsa, Bung Karno dianggap sebagai pemimpin besar. Hampir seluruh rakyat bangsa yang dipimpinnya, dari Timur ke Barat tahu siapa itu Bung Karno, foto beliau masih memiliki daya jual untuk menarik massa dalam pemilihan umum. Keberadaan beliau menjadi perbincangan yang tidak kunjung usai, entah sebagai ikon politik, sebagai negarawan, bapak bangsa, maupun simbol pemimpin yang memiliki kelebihan mistik yang menarik siapapun untuk membincangkannya. Dengan berbagai kelebihan tersebut, namanya terpatri abadi dalam hati para anak bangsa, namun sejarah mencatat bahwa kisah hidup beliau di akhir hayatnya sangat pilu, dipenjara sebagai tahanan politik penerusnya. Sama dengan kisah tragis Al-Hallaj maupun Syekh Lemah Abang atau biasa di sebut Syekh Siti Djenar. Pun dalam keadaan dipenjara dalam tahanan politik, beliau masih mengambil keputusan bijak dengan tidak melawan sang penguasa saat itu. Begini katanya:

Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya. Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang,.

Ternyata, keadaan mabuk tidak hanya dialami oleh Bung Karno, penerusnya pun mengalami hal yang sama. Bung Karno mabuk hingga dirinya tidak keberatan diangkat menjadi presiden seumur hidup. Penerusnya, Suharto, mabuk hingga beliau mampu bertahan dalam tahta pemerintahan selama 32 tahun. Apabila menuruti keinginannya, tidak sulit bagi beliau menjadi pemimpin negara seumur hidup. Beda antara mabuk versi Bung Karno dan Suharto adalah bahwa Bung Karno mengalami mabuk nasionalisme, membangun kerangka awal berdirinya sebuah bangsa, sedangkan mabuk yang dialami Suharto adalah mabuk kekuasaan, membangun landasan ekonomi pembangunan sebuah bangsa besar yang amat kompleks hingga beliau diberi gelar Bapak Pembangunan. Perbedaan yang lain adalah, foto Bung Karno masih memiliki daya jual sebagai pendongkrak suara dalam pemilihan umum, namun foto Suharto belum laku sebagai ikon kampanye. Satu tagline tentang Suharto yang banyak terngiang di benak rakyatnya adalah "Piye Kabare, iseh penakJamankuto?"

Nah, bagaimana caranya menghilangkan atau mengurangi mabuk, terutama Mabuk Kepemimpinan? Penulis, yang sedang asyik membedah tentang Kepemimpinan Profetik (Prophetic Leadership), memiliki satu kata kunci untuk mengatasi Mabuk Kepemimpinan, satu kata kunci itu ialah “jujur”. Ya, benar, jujur...

Syarat mutlak seorang Pemimpin Profetik adalah jujur. Jujur bahwa pemimpin, apapun bentuknya adalah manusia yang fana, tidak hidup abadi seperti ide-idenya. Jujur bahwa sehebat apapun dia, kaderisasi adalah hal yang penting untuk melanjutkan cita-citanya yang abadi.

Jadi, wahai para calon pemimpin di pemilu bulan April nanti, jujurlah. Jujur pada dirimu sendiri, jujur bahwa dirimu adalah wakil Tuhan di bangsa yang kelak kaupimpin. “Orang jujur hancur”, kata Jayabaya,  tetapi Pemimpin Profetik tidak hancur, karena dia “Manusia Setengah Dewa”, kata Iwan Fals.

Di samping makam Bung Hatta, Jakarta, 21 Maret 2014.

Tulisan ini hinggap di detik.com ini. Sayang foto saya yang tampil serperti residivis. Hiks...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline