Lihat ke Halaman Asli

A. S. Narendra

Tunggu sebentar, tulisan belum selesai diketik...

Tarian Kematian Jemari Lelaki Buta

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jantung hati saya berdetak kencang menulikan artikel ini. Tahu mengapa? Saya harus mempertanggung jawabkan judul yang saya tulis di atas. Apabila para pembaca saya kecewa ketika membaca isi tulisan, saya akan dianggap penipu nan munafik. Syukur kalau ada yang menganggap saya pandai memasarkan tulisan saya dengan membuat judul yang mampu mem-betot perhatian.

Tulisan ini sebenarnya saya niatkan menjadi tulisan sampah. Saya selalu mendorong penulis pemula seperti saya sendiri untuk menulis sampah. Salah satu dorongan saya menulis sampah adalah artikel saya terdahulu yang berjudul “Menulis (Inspiratif): Satu Hari Satu Artikel”. Mengapa kata “inspiratif” saya beri tanda kurung? Sebelum ada kata itu sedikit sekali orang yang baca, saya edit-lah pagi ini. Kata yang berada didalam tanda kurung itu juga bisa diganti menjadi kata “sampah” karena begitu sedikitnya orang yang membaca.

Sampah tidak layak disimpan. Buanglah sampah pada tempatnya… Sampah dalam pikiran kita adalah pikiran negatif. Pikiran negatif yang menikah dengan perasaan negatif akan berhubungan intim dan melahirkan prasangka negatif yang disebut suudzon. Prasangka negatif tentu akan menghasilkan perilaku negatif. Orang yang menghidupi dirinya dengan perilaku negatif akan meninggal dalam keadaan yang buruk (suul khotimah). Mau meninggal seperti itu? Saya mah ogah

***

Hari ini tahun baru Muharram, orang Jawa biasa menyebutnya Suro. Kebetulan sekali akhir tahun kemarin pas hari Jumat, hari rayanya umat Islam tiap minggu. Hari yang saya suka karena setelah itu week-end dan saya bisa menulis dengan merdeka. Pun kebetulan pula khutbah Jumat di masjid kampus UGM tempat saya shalat Jumat bicara tentang kematian, padahal hari sebelumnya saya menulis reportase tentang kematian saudara jauh saya yang seorang guru besar di kampus dengan nama Mahapatih Majapahit itu. Di tulisan itu saya sedikit menjelaskan tentang contoh praktek ekstrim cara menghadapi kematian. Silahkan baca artikel berjudul “Silaturahim yang tertunda. Selamat Jalan Prof… Hikz”. Gak usah dibaca juga gak apa-apa kok. Aku rapopo:)

Saya ngeri ih ngomongin kematian, ha wong ketika khatib Jumat di maskam UGM itu mempimpin doa bersama saya sampai terisak gak karuan. Untung saja itu di masjid kampus yang tiada anak-anak kecil. Coba ada anak-anak kecil, saya membayangkan akan diejek khas anak-anak… “Weee… sudah gede masih nangis…”. Mari kita simak saja bersama bagaimana mengisi kehidupan dengan baik, terutama dengan apa yang kita lakukan di Kompasiana, apa lagi kalau bukan menulis?

***

Bagi saya menulis adalah mengabadikan apa yang sudah dibaca. Apa yang dibaca dan bagaimana cara membaca itu akan menghasilkan kualitas tulisan sesuai dengan apa yang telah dibaca dan bagaimana membacanya. Kitab suci yang dibaca oleh orang berhati kotor yang terpengaruh unsur negatif bernama setan akan menghasilkan ilmu-ilmu tenung dan santet. Sebaliknya, kitab suci yang dibaca oleh orang dengan niat suci akan menghasilkan hikmah-hikmah dan cahaya pencerah bagi pembaca ketika diolah menjadi tulisan.

Saya selalu terinspirasi apabila merenungkan ayat Tuhan yang diturunkan pertama kali pada manusia bernama Muhammad. Bukan hanya ayatnya, tapi prosesnya juga. Ha orang buta huruf kok disuruh membaca piye to iki Tuhan? Salah satu tafsir personal pada ayat itu bagi saya yang paling penting adalah menulis. Bukan sekedar menulis, tapi menulis tanpa pena. Kita harus menulis lembar-lembar kehidupan kita. Diri kita adalah pena. Buku kehidupan yang sudah ditulis oleh Tuhan untuk kita kalau tidak salah disebut Lauh Mahfudz. Kita sekedar melaksanakan skenario Tuhan di tulisan itu. Coba renungkan rukun iman ketiga dan keempat, beriman pada kitab dulu atau pada Rasul dulu? Kitab-kitab apa saja yang harus kita baca?

Hal yang saya sebut di atas mungkin yang membuat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan “Makhluk pertama Tuhan (baca: Allah) adalah pena,”. Pernyataan itu tercantum dalam bukunya yang berjudul Al-Fawaid. Terima kasih pada blog ini yang telah merangkum kitab itu dan membuat saya tidak perlu membacanya dalam bahasa inggris di sini. Ada yang punya buku itu dalam bahasa Indonesia? Pinjam duoooong… Hehe…

Tiada tulisan baik atau buruk bagi pembaca, namun hikmah dari bacaan itu yang paling penting. Apakah suatu bacaan membuat seseorang bisa mengubah pikirannya dari negatif ke positif, atau malah sebaliknya? Mari kita lihat tulisan-tulisan saya sejak awal nangkring di Kompasiana:

1.Freewriting, Latihan Menulis dan Jejak Langkah. Ini adalah usaha saya untuk berlatih menulis sampah setelah curhat dengan Omjay kira-kira sebelum tanggal 27 Januari 2011. Curhat kok malah “dihajar” dengan tulisan ini to Pak? Hehe… Woh, link-nya mati ternyata.

2.Sukarno dan Suharto, Pemimpin Nan Mabuk. Salah satu tulisan favorit saya karena masuk di media mainstream. Di situlah saya terpaksa harus muncul dengan nama asli saya. Setelah itu saya memilih jadi penulis rahasia dengan nama samaran. Xixi…

3.Reportase bergenre jurnalisme sastrawi berjudul Pendekar Pedang Sakti Mandraguna dan Raja Kere. Salah satu tahap kepenulisan saya dengan pertemuan dengan Kang Isjet. Asyik, makan di hotel berbintang banyak dengan pakaian compang-camping seperti orang gila. Di sini Kang Isjet memberi doktrin “Menulis Satu Hari Satu Artikel” yang pada akhirnya saya bantah dalam hati karena menemukan penulis spesialis HL bernama Yusran Darmawan.

4.Tri Mas Kenthir dan Bersenjata Pena, Sebuah Kisah Penulis Gila. “Tri Mas Kenthir” itu plesetan dari Three Musketeers. Tulisan tersebut adalah penggalan kisah hidup seorang tokoh "imajiner" bernama Ady yang menyebut dirinya anjing (karena bershio hewan itu), hewan yang kesetiaannya diabadikan di sebuah kitab suci dengan judul surat Al-Kahfi. Diabadikan juga di Jepan dan saya abadikan lagi dalam tulisan Kesetiaan, Sebuah Pelajaran Berharga dari Hachiko, karya terjemahan yang telah dimodifikasi.

5.Tulisan yang mengajak anak muda bermimpi, sayang plotnya agak hancur bercabang-cabang patah tidak karuan. Tulisan itu berjudul Jokowi (Om Wiwi), Flo, dan Mimpi Anak Bangsa.

6.Kisah nyata metamorfosis ABG normal-ceria yang kehilangan kaki, depresif, lalu bangkit melukis otodidak dengan ajaib dengan waktu yang singkat. Lukisannya konon dibeli ibu negara Ani Yudhoyono. Hasil pembelian tulisan dipakai untuk membeli gadget dan berkomunikasi dengan pelukis Perancis yang mengajarinya melukis dengan lebih baik lagi. Tulisan paling banyak dibaca di blog saya ini berjudul Rodhi, Pelukis Tuna Daksa Ibu Negara Titisan Basuki Abdullah. Kelak akan saya tulis proses transformasi saya sendiri dari manusia depresif yang hampir bunuh diri menjelma menjadi Ksatria Baja Hitam. Xixixi…

7.Terakhir adalah tulisan tentang profesor saudara jauh saya yang berniat saya kunjungi namun gagal hingga akhir hayat beliau. Tulisan untuk beliau ini adalah wujud penyesalan saya karena menunda niat, sekaligus penghormatan terakhir dan doa saya semoga almarhum mendapat tempat terbaik di sisi-Nya, dan tentu saja bertemu dengan-Nya.

Sudah ah, tujuh tulisan saja. Mending kalau tulisan saya bagus, tulisan-tulisan itu sampah semua. Tuhan saja menciptakan hanya tujuh nama hari dan tujuh lapis langit. Salah satu rahasia nama hari ini tenggelam di cangkir sereal yang saya minum di sini. Gak jadi tujuh tulisan deh tuh… hehe.

Demikianlah tarian kematian jemari saya. Saya menyebut tarian kematian karena memang berniat untuk mengingatkan kita semua tentang kematian, termasuk diri saya sendiri. Tarian kematian, karena hari ini adalah awal kehidupan baru di tahun Islam 1436 H. Tahun 1435 H telah mati, jatah hidup kita di dunia semakin berkurang. Mari kita matikan juga pikiran – perasaan - perbuatan negatif yang pernah kita lakukan, bahkan terkadang secara tidak sadar dibanggakan di tahun yang telah berlalu itu.

Mari mempelajari teknologi logam transformium dan melakukan proses transformasi diri kita menjadi pikiran, pikiran, dan perilaku positif untuk mempersiapkan kematian yang baik (khusnul khotimah). Alangkah indahnya apabila dalam kehidupan ini kita bisa menjadi seorang transformer karena telah berhasil mempelajari logam yang telah saya tulis itu. Transformer maksudnya kita bisa mentransformasi diri kita, juga bisa memberi inspirasi lingkungan kita untuk bertransformasi pula. Transformasi dari negatif ke positif, dari positif ke positif yang lebih baik lagi, lagi, dan lagi hingga Sang Malaikat Maut menjemput nanti.

Steven Covey berkata bahwa pikiran-perasaan positif akan membentuk perilaku positif. Perilaku positif akan membentuk kebiasaan positif. Kebiasaan positif akan membentuk karakter positif, lalu membentuk lagi nasib positif, plus penutup (baca: kematian) yang positif. Kata “plus” yang paling belakang itu bukan kata Covey lho…

Untuk tulisan saya ini, saya berdoa semoga tulisan ini bernasib positif dan memenangkan sesuatu serta memperolah uang. Uangnya akan saya gunakan untuk “memberi sumbangan” kelahiran istri teman saya dan memberi makan anak yatim (-piatu) kelaparan yang saya temui. Uang sisanya akan saya pergunakan untuk membayar tiket Kompasianival yang tertunda-tunda karena begitu fakirnya saya. Semoga doa saya terkabul. Aamiin ya Robbal Alamin.

Kota bakpia, 25 Oktober 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline