Lihat ke Halaman Asli

andra nuryadi

bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Politik Popularitas Vs Politik Gagasan

Diperbarui: 6 Juni 2023   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Salah satu ketakutan sistem pemilu tertutup adalah munculnya orang-orang terkenal, orang-orang populer yang memiliki potensi meraih suara, yang secara kualitas terhadap pemahaman persoalan bangsa minim. Mereka para pesohor (tidak hanya kalangan selebritas) yang didukung oleh pendanaan kuat (baik dana pribadi maupun dana dukungan dan sumbangan) mengalahkan orang-orang yang lebih seharusnya duduk di parlemen.

Orang-orang golongan kedua ini sulit merambat naik menjadi pilihan, karena hanya membawa gagasan. Gagasan yang merupakan buah pikiran tidak nyata. Kalah oleh popularitas yang mudah dikreasi, dibentuk dan dikelola melalui berbagai cara dan platform.

Gagasan tidak cukup disuarakan dalam satu atau dua kalimat. Ia merupakan sebuah rangkaian panjang melalui berbagai proses dan telahaan. Karenanya, sebuah gagasan selalu muncul dari orang-orang yang memahami persoalan dasar, memiliki kemampuan memikirkan persoalan secara holistik dan bahkan mereka biasanya punya keterikatan dengan problematika yang mereka suarakan.

Popularitas di tengah arus media sosial yang mengalahkan peran media massa, semakin memiliki kedigdayaan. Ketika setiap orang dapat menjadi pembuat konten, maka popularitas menjadi referensi masyarakat yang tidak lagi memerlukan check and balancing. Bahkan ketika keterikatan pada popularitas tertentu yang kemudian mengakar dapat dianggap sebagai dogma.

Popularitas tidak selalu bermakna negatif. Ia menjadi faktor pendorong untuk mengubah nobody menjadi somebody. Atau juga dapat menambah atau bahkan mengubah kesan maupun citra orang-orang yang sudah menjadi somebody. Karenanya cara ini banyak digunakan oleh para pemimpin untuk "mengambil" faktor lain yang akan mendukung citra dirinya menjadi satu paket pemimpin tegas nan merakyat, misalnya.

Masalahnya dalam usia proses demokrasi pasca reformasi yang telah cukup disebut dewasa, politik popularitas itu terus saja menguat. Terjadi dan muncul dalam saban pemilihan eksekutif dan legislatif. Para nobody dan somebody sama-sama berpamer wajah di ruang-ruang publik dari konvensional hingga digital.

Ruang-ruang itu terlalu sempit sehingga pesan yang disampaikan seringkali sangat terbatas. Atau lebih kerap lagi, para calon kontestan itu memang tidak memiliki pesan sama sekali.

Kalau pun ada biasanya sebatas jargon yang tidak terelaborasi dalam paparan. Atau bahkan memang benar-benar tidak memiliki ide kendati sebatas membuat jargon. 

Coba Anda telaah kembali, apa ide yang dipunyai oleh seorang penyanyi yang ingin menjadi presiden dengan baliho di mana-mana. Kecuali sekadar membuat publik geger. Dan akhirnya berbuntut serapah.  

Politik popularitas menjadi tidak bermakna ketika diisi oleh orang-orang yang mencarinya dan tanpa membawa apa-apa. Popularitas hanya sekadar alat untuk meraih keterkenalan lantaran dalam prosesnya tidak dijejali dengan bukti perjalanan pembaktian seseorang kepada kemaslahatan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline