Lihat ke Halaman Asli

andra nuryadi

bekerja 20 tahun lebih di media, memiliki laboratorium kreativitas konten

Disrupsi Agensi Advertensi

Diperbarui: 25 September 2020   18:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan landscape industri media dalam beberapa tahun belakangan terjadi amat luar biasa. Media mengalami ledakan dalam hal kuantitas, karena siapapun dapat membuat dan memiliki media. Namun disrupsi digital membuat media yang jumlahnya banyak itu kemudian berguguran satu-persatu.

Sekalipun demikian, jumlahnya yang masih sangat banyak itu (dibandingkan 15-20 tahun silam) tetap menciptakan perang pendapatan yang berasal dari aspek iklan. Sebagai akibatnya, rate card yang tadinya memiliki standar yang merupakan hasil dari penyetaraan antarmedia, kini berubah total. Calon pembelanja iklan bisa mendapatkan rate yang begitu berfluktuatif, sampai ia kebingungan sendiri. Di sinilah letak agensi advertensi mendampingi kliennya. Belanja iklan adalah seni tersendiri, dan biasanya para officer atau manajer mulai bemain data untuk disajikan kepada kliennya. Selanjutnya data itu mengantarkan pada pemilihan media.

Data-data yang digunakan tidak lepas dari dua klaim data. Data rilisan media sendiri dan data yang dibagikan oleh lembaga riset media. Dan, rumusnya pun hanya pada tingkat keterbacaan (media cetak) dan rating (media elektronik). Media mengikuti apa yang disajikan oleh lembaga periset.

Situasi yang sangat berbeda terjadi pada media digital. Media-media ini juga harus “tunduk” pada algoritma digital yang dibuat oleh Over the Top (OTT). Meski lebih transparan dan sangat cepat, namun media-media digital membutuhkan energi (termasuk dukungan biaya) sangat tinggi untuk bisa berada di ranking terbaik.

Persoalan kemudian muncul, di antara persaingan tersebut, rupanya pendapatan yang media peroleh dari iklan saat ini adalah yang terbesar (di luar elektronik). Media print dan digital, walaupun mendapatkan perolehan pendapatan dari penjualan cetak (yang sudah sangat menurun) dan programatik (yang ternyata tidak besar amat) mau tidak mau harus melakukan strategi pencarian iklan (advertising driven) yang lebih agresif.

Babak baru yang menjadi bagian dari strategi tersebut adalah kini unit-unit bisnis dan komersial media memiliki sub unit-sub unit seperti halnya yang dilakukan oleh agensi iklan.

Mengapa baru kali ini media melakukan strategi ini?

Dulu skema bisnis iklan melibatkan pengiklan, agensi iklan dan media. Skema ini sangat dijaga satu sama lain dan berlaku secara global. Sehingga tidak aneh jika pengiklan yang perusahaan global atau multinasional selalu merekomendasikan pada agensi tertentu yang juga berjaringan global. Pada sisi ini pernah terjadi kolaborasi antara agensi lokal dan internasional, bahkan akuisisi.

Prosedurnya standar. Seluruh perencanaan termasuk produk iklan dan pembuatannya menjadi bagian pekerjaan agensi. Sedangkan media menjadi partner di hilir yang menjangkau audiensnya dalam menyampaikan pesan.

Artinya skema ini membutuhkan perjalanan yang lebih panjang karena harus melewati agensi baru kemudian ke media. Dan, skema ini lebih sering terjadi di sektor privat. Sektor pemerintahan memilih membuka tender sebagai bagian dari Good Corporate Governance, sehingga siapapun boleh ikut serta. Bahkan terjadi interaksi langsung antara media dengan pemerintah.

Media mencoba memangkas dengan unit dan subunit yang sudah menyerupai agensi iklan. Bahkan sejumlah kelompok media besar sampai harus merekrut orang-orang agensi demi memberi perspektif dan ambiens layaknya perusahaan periklanan. Juga pola kerja yang dilakukan benar-benar sudah layak disebut sebagai advertising agency.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline