[caption caption="Kumandang Adzan."][/caption]
[Renungan Jumat]
Adalah seorang pria berkulit hitam keturunan Abbesinia. Bila jemarimu menjengkal sejarah, bila telunjukmu menyusuri peta dunia, maka akan kau dapati negeri itu kini bernama Ethiopia.
Dia, bukan siapa-siapa, hanya seorang anak manusia yang terlahir di tengah bobroknya dunia di mana orang-orang berkuasa, orang-orang berharta merasa lebih agung dari Dzat Yang Mahaagung.
Ia, hanya anak manusia yang lahir dengan strata sosial terendah dan paling hina di zaman itu. Padahal ia dan semua makhluk di dunia ini tidak ada yang meminta untuk terlahir menjadi seorang budak. Nyawa yang bebas diperjualbelikan. Badan yang bebas untuk disiksa kapan saja oleh sang majikan. Diri tiada lebih berharga dari anjing peliharaan.
Datanglah kabar berembus, menembus butanya mata-hati para penguasa, para bangsawan, dan mereka-mereka yang mengaku memiliki sifat ilahiah.
Mengusik pendengaran, telak menghantam keegoan. Mengotori pandangan jika aku adalah kekuasaan. Membusukkan penciuman yang berkarat akan kezaliman yang telah mengakar. Membakar amarah dalam tiap-tiap dada mereka, sebab tiada seorang pun yang berani menentang sebelum ini.
Yaa, nama itu jelas-jelas membawa hal yang tiada mereka inginkan. Penentang budaya jahiliah nenek-moyang mereka. Kabar akan nama itu… membersitkan selaksa makna pada relung-relung teraniaya bila Sang Pemilik Kehidupan tidaklah lupa pada hamba-hambaNya yang bertakwa.
Budak Abbesinia yang raganya dimiliki Umaya sang majikan, mendengar kabar menggembirakan. Bukan sekadar keinginan untuk bebas dari perbudakan, namun ia telah lebih dulu memaknai: jika Tuhan itu ada, tidak mungkin Ia meridai perbudakan ini. Jika Tuhan itu Mahakuasa, tentulah ia tidak seperti sesembahan para bangsawan ini.