Lihat ke Halaman Asli

Ando Ajo

TERVERIFIKASI

Freelance Writer

Rakus

Diperbarui: 11 Januari 2016   14:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ratapku tiada berdengar, tertindih deru senapan yang menggelegar. Membanting tubuh ringkih terkapar, lantas rebah di pelukan ibu dalam tawa yang kau umbar. Lagi dan lagi jasad berubah bangkai terhampar, menusuk hidung dan kau masih bisa menawar. Tidakkah kau merasa tertampar?

Hanya dahan-dahan lapuk tempat kami berpijak kini… menjadi tumpuan sanak famili, yang menunggu punah sebentar lagi. Luluh lantak demi kepentingan ekonomi, harga diri, hobi, kesenangan diri. Tidakkah kau peduli? Sedikit saja empati? Tidak pada kami, tapi ibu bumi.

Satu per satu teman menghilang. Bila tidak menjadi patung penghias kecongkakan, pastilah lenyap berlalu jadi makanan. Kami buas, mungkin. Tapi mulut kalian adalah tempat paling menjijikan… dari darat laut udara menjadi bahan pemuas nafsu yang tak pernah terpuaskan.

Kau menyandang kata pujian, makhluk termulia ciptaan Tuhan. Bahkan, justru kami yang iri ingin disamakan. Lantas mengapa kehancuran yang kau hadirkan? Di mana tadi kemuliaan yang diberikan? Di mana letaknya keindahan yang menjadi tujuan? Ataukah itu semua hanya acuan… pembenaran segala tingkah dan perbuatan?

 

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 11 Januari 2016.

Sumber ilustrasi.

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline