Tiada duga dalam kulena, ruas tebu kau berikan pengganti manisnya gula. Sayang disayang bukan pangkal tapi ujung yang terasa hambar. Bukan madu menggelitik lidah tapi air perasan terasa tawar.
Lalu kau berkata; tidakkah kau sadar tiada mungkin bertemu ruas dan buku? Apa kau tahu, sejak kapan air tak ‘kan terpisah dari minyak? Tiada mungkin menyatu.
Kusemaikan benih rindu, pada laman hati di bawah putihnya awan sendu. Namun kala bunga mekar mengembang, di bawah langit biru membentang. Ranting pun kau patahkan, terenggut kasih yang kuharap-harapkan.
Menggelepar.
Terkapar.
Dan hening memudar…
Janji malang terbuang sayang, seperti malam menyuguhkan gemintang. Hanya sesaat sebelum gelap berkalang, dan mendung pekat menghalang pandang. Berharapku pada bulan, adukan luka resah di sekujur badan, kau menggoda dengan senyuman, lantas curah hujan kau pintakan. Menyengat setiap luka menganga tak tertahankan.
Bukan salah dirimu, tapi salah diriku.
Salah berharap terlalu banyak rasa yang ada. Hingga, gurau senda pun kuanggapkan cinta. Nyatanya tergigit lidah, dan kini… resah. Risih yang memadamkan gairah. Kini pelita padamlah sudah. Tiada hasrat, yang tersisa hanya… jelantah.
Kuharapkan cinta berbunga putih, berharap indah berbuah kasih. Namun kenyataan membuatku tersisih. Bunga mekar berubah ungu letih, lebam terluka perasaan mendidih. Jerih…