Episode 05.
The Girl Who Learned From the Unborn
Kadang-kadang den tanyokan ka diri
Untuak apo jantuang nan jo hati… [1]
…
Malam begitu agung. Terang benderang bertakhtakan rembulan penuh. Purnama sempurna hari kelima belas, tanpa sepotong awan pun yang sanggup mengekang bias keemasan di selimut alam. Syair rayuan si burung pungguk, bersahutan dari satu titik ke titik lainnya, di hamparan belantara. Ditingkah nyanyian cumbu jangkrik, sempurna sudah simfoni malam.
Semua keindahan itu, tiada mampu menghentikan langkah kaki seorang gadis belia usia lima belas tahun—paling tidak, sekadar tuk menikmati semilir angin yang mungkin saja mampu membawakan mimpi indah. Tanpa alas kaki, berlari di antara kelebatan tanaman liar, tiada menghiraukan luka-luka lecet di kaki dan tangan. Seperti dikejar setan, ia terus memacu larinya menuju selatan.
Terpaut belasan meter di belakangnya, belasan pria mengejar gadis belia. Sebagian dari mereka berpakaian ala hulubalang negeri. Gonggongan anjing menyertai langkah mereka. Ketegangan di wajah mereka, bahkan melebihi ketegangan di wajah gadis belia. Andai kata gagal menangkap bocah perempuan itu, hukuman berat akan mereka terima dari sang penguasa baru Istano Silinduang Bulan.
Puti Bungo Tanjuang nama gadis belia, terus memacu lari. Deru napas dan degup jantung berpacu dahulu mendahului. Terus lari dan lari, hingga dada semakin sesak, semakin dingin setiap helaan napas. Seakan membekukan paru-paru dan lalu pecah dalam satu helaan.
Puti tersandung akar tua yang membusuk. Jatuh bergulingan ke sisi kanan, berakhir di dasar parit kecil yang nyaris kering. Ia mengertakkan rahang, menahan sakit, agar orang-orang yang mengejar tidak mengetahui keberadaannya.
Kembali ia bangkit, merangkak cepat menaiki sisi parit. Lari lagi dan lagi, tak hirau tubuh kotor bergelimang lumpur.