ilustrasi anak-cucu pertiwi yang berjuang demi negeri
Terkisah…
Kisah satu keluarga besar. Tinggal bersama dalam satu rumah besar, di tanah yang subur. Dikelilingi rimbun pepohonan aneka rupa. Dibatasi segarnya hijau-biru bahari. Keluarga hidup sejahtera lagi bahagia. Ayah Nusantara berlaku bijak berwibawa. Ibu Pertiwi pula hangat penuh kasih dalam kelembutan.
Pasangan Nusantara dan Pertiwi punya banyak keturunan. Dijumlah tiga puluh empat dari Aceh hingga Papua. Dari anak-anak mereka, Ayah Nusantara dan Ibu Pertiwi punya sembilan puluh delapan cucu. Dari cucu Banda Aceh hingga cucu Jayapura. Dari para cucu, terlahirlah empat ratus tiga cicit. Dari para cicit, lahirlah ribuan piat-piut.
Sayang sejahtera mulai terusik. Sedikit demi sedikit memudar. Perlahan tapi pasti, bahagia melebur jadi mimpi.
Ayah Nusantara sudah terlalu tua memimpin keluarga. Ibu Pertiwi telah lanjut usia mengurusi anak keturunan. Pasangan tua bermaksud untuk menyerahkan kepemimpinan keluarga. Pada anak, pada cucu, pada cicit, piat dan piut.
Sayang seribu kali sayang. Anak keturunan tak mampu menguasai diri. Terhasut kebutuhan piat dan piut. Lupa azam semula Ayah Nusantara. Lupa kasih azam yang diajarkan Ibu Pertiwi. Singgasana di ruang tengah, begitu menggoda begitu menggugah. Tiga puluh empat anak tak mampu bertindak. Diinjak-injak piat-piut kolokan bermanja.
Lambat-laun rumah besar tak lagi tenang. Selalu ribut sikut dan hantam. Satu sama lain saling menyakiti. Makian menanggapi hasutan dan hujatan. Fitnah saudara hancurkan saudari. Kepentingan saudari abaikan saudara.
Halaman yang dulu megah hamparan karpet rumput tebal menghijau, kini berlubang di setiap jengkal. Menyembulkan mata air hitam-ungu, busuk berbau bangkai. Ladang berubah menjadi kuburan. Kematian piat-piut yang disembunyikan.
Hutan asri melingkupi, meranggas kurus dan kering. Sulaman dedaun hijau, layu luruh gugur ke bumi. Satu per satu hilang dibakar. Tak lagi mampu dinginkan hari. Tiada bisa lagi menyaring cahya sang surya. Atau sekadar menepis ganasnya angin berhembus.
Perairan kotor tercemar. Berhias sampah-sampah kebusukan. Tiada lagi kesegaran. Tiada lagi sapa lembuy sepoi sang bayu. Yang tinggal kini hempasan gelombang menderu. Ganas memecah ke tepian. Hancurkan pantai-pantai indah bermega. Kusam. Terajam.
Hari hari berlalu menyakitkan. Mengelus dada, itu yang mampu dilakukan renta Ayah Nusantara. Tangis mengisak tanpa bulir air mata, itu yang sanggup Ibu Pertiwi hadirkan. Tenaga entah kemana. Kering sudah air mata.
Rumah tak lagi rumah. Kediaman terpecah-pecah. Terkotak-kotak hasrat ketamakan. Dikaveling-kaveling kepentingan. Tiada memandang usaha Nusantara. Tiada peduli pada kasih Pertiwi. Anak keturunan buta tuli.
Kini Ayah Nusantara menjadi buih derita. Berkubur samudera bernisan gelora. Ibu pertiwi terseok pergi. Hilangkan diri menunggu takdir, dalam hutan kering yang sepi.
Sayang seribu kali sayang… dendang malam tak lagi berkumandang.
Yang tersisa… sunyi.
Carut marut diri.
Sekian masa telah berlalu. Ibu Pertiwi masih menunggu. Menunggu anak keturunan, untuk sekali saja mengingat kenangan, akan Ayah Nusantara yang berwibawa.
Meunggu dan terus menunggu. Entah sampai kapan Ibu menunggu…
Sayang seribu kali sayang.
Kisah ini tak berlukis senang…
Adakah nanti piat-piut yang akan mengenang?
Sudi berjuang?
Tanpa pamrih berkalang?
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM, COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 25 Maret 2015.
Sumber ilustrasi; dari wall FB Rusdian Malik.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H