Anak jalanan adalah masalah serius perkotaan. Hilangnya hak pendidikan, terlibat dalam kejahatan, pergaulan bebas dan rentannya anak-anak terhadap narkoba, membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mendirikan Kampung Anak Negeri.
Di lahan seluas 40x50 meter itu, anak-anak jalanan hingga putus sekolah bertransformasi menuju kehidupan normal. Mereka tidak hanya sekedar tinggal di penampungan. Tetapi, mereka juga diberikan kebutuhan primer, hak-hak pendidikan, pembinaan mental, hingga mengantar mereka mengembangkan budaya prestasi.
Ketika mulai memasuki kawasan ini, anda pasti akan mendengar suara khas riuh riang dan canda tawa gembira anak-anak. Yah, benar saja, suara yang anda dengar merupakan para penghuni di Kampung Anak Negeri. Saat ini, penampungan yang dikelola Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya itu dihuni sebanyak 35 anak, mereka semua berjenis kelamin laki-laki, dengan usia rata-rata antara 8 - 18 tahun.
Sejak tahun 2009, Kampung Anak Negeri yang terletak di Jalan Wonorejo Timur No. 130 Surabaya, memang menjadi rumah baru bagi anak-anak jalanan, putus sekolah, hingga anak dengan masalah kesejahteraan sosial meraih masa depan yang lebih cerah.
Tak pelak, banyak dari mereka yang berhasil menorehkan berbagai prestasi di bidang olahraga, baik di tingkat regional maupun nasional. Salah satunya, Bledheg Sengheta yang pernah meraih juara 1 Piala KONI Surabaya, Ari Muchti juara 1 kejuaraan Balap Sepeda Piala KONI Surabaya, serta Moch. Hasyim juga pernah menjadi juara 1 kejuaraan atletik lari 60 meter antar SD se-Kota Surabaya.
Namun, dibalik keberhasilan itu semua, ternyata ada peran serta sosok seorang pendamping yang dengan sabar dan tekun membimbing mereka. Salah satunya adalah Suroso (32). Sejak tahun 2012, Suroso sudah mulai bekerja menjadi seorang pendamping di Kampung Anak Negeri.
Tak mudah memang menjadi seorang pendamping anak. Apalagi, menjadi pendamping anak-anak yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Ada yang berlatarbelakang akibat ditelantarkan orang tua, putus sekolah, bahkan anak yang memang diserahkan oleh orang tuanya karena terlalu dianggap nakal.
Suroso mengaku, awalnya masih ragu ketika ditawari kerja menjadi seorang pendamping di Kampung Anak Negeri. Bahkan sebelumnya, beberapa kawan ia sempat bercerita bagaimana kondisi anak-anak itu yang terbilang nakal. Namun, setelah tahu bagaimana kondisi di penampungan, membuat Suroso merasa iba.
"Kalau anak-anak di sini sifat dan karakternya itu kan berbeda-beda. Memang harus sabar, dari kalangan keluarga mereka juga berbeda-beda, ada yang ditelantarkan, yatim piatu, dan juga masalah sosial lain," kata Suroso.
Bahkan Suroso mengatakan, sebelum ia bekerja di penampungan tersebut, pernah ada 3 orang pendamping baru tiga bulan kerja sudah keluar. Alasannya, mereka tidak betah dan kurang sabar menghadapi anak-anak tersebut. "Kalau sekarang petugas pendampingnya ada 3 orang, termasuk dengan saya," ujarnya.
Namun, ada sisi lain yang membuat Suroso bertahan hingga sekarang menjadi seorang pendamping. Jika bukan karena ikhlas dan sabar, yah mungkin saja Suroso sudah jauh-jauh hari keluar kerja. Mendengar berbagai keluh kesah dari anak-anak itu, membuat Suroso ingin terus mengabdi bekerja di Kampung Anak Negeri.