Di tengah arus modernisme yang membingungkan, dan dalam keriuhan dunia yang semakin kompleks, momen Idul Fitri datang sebagai titik puncak yang mengingatkan kita akan kodrat asli manusia. Sebagai ciptaan Tuhan, kita dilengkapi dengan naluri yang menuntun kita menuju kebaikan, kedamaian, dan persaudaraan. Idul Fitri, yang menandai akhir dari ibadah puasa Ramadhan, bukan hanya sebuah perayaan kemenangan atas diri sendiri, tetapi juga sebuah perenungan atas perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan yang mungkin menghalangi kita dari fitrah manusia tersebut.
Sebagaimana disampaikan cendekiawan Muslim, Nurcholish Madjid, fitrah manusia adalah agama itu sendiri. Agama, sebagai panduan hidup, telah tertanam dalam diri manusia sejak awal. Oleh karena itu, nilai-nilai agama sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Agama bukanlah penghalang bagi kemanusiaan (QS. 22:78).
Agama diberikan Tuhan untuk kebaikan manusia, yang meminta kita berbuat baik untuk mencapai ridha-Nya. "Dengan memuliakan nilai-nilai ketuhanan, kita secara otomatis juga memuliakan nilai-nilai kemanusiaan," kata lelaki asal Jombang kelahiran 17 Maret 1939 ini.
Sekularisasi Yang Kontroversi
Namun, Tuhan juga memberikan manusia kebebasan untuk menjalani hidupnya. Di era modern seperti sekarang, Nurcholish menyarankan umat Muslim untuk melihat ke Barat. Menurutnya, Barat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya telah menjadi pemimpin dalam peradaban manusia.
Dalam upayanya mencapai peradaban modern, Nurcholish Madjid mengusulkan gagasan sekularisasi. Pada suatu diskusi di Menteng Raya 58 pada 2 Januari 1970, mahasiswa dari Fazlur Rahman ini menjelaskan, sekularisasi adalah kebutuhan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam. Gagasan sekularisasi, sambung Nurcholish, dapat dibenarkan dari kalimat syahadatain yang memuat negasi sekaligus afirmasi.
Menurut penafsirannya, dua kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang sebelumnya dianut, kemudian mengukuhkan keparcayaan pada Tuhan yang sebenarnya. Dan Islam dengan ajaran tauhidnya yang tidak kenal kompromi itu, telah mengikis habis kepercayaan animisme. Ini bermakna, dengan tauhid terjadi proses sekularisasi besar-besaran pada seorang animis. Namun, dia menekankan bahwa sekularisasi bukanlah sekularisme yang meniadakan peran agama dalam kehidupan manusia.
Meskipun demikian, gagasan sekularisasi ala Nurcholish ini menuai kritik dari beberapa cendekiawan Muslim lainnya. Mereka yang menolak konsep tersebut, menyatakan, sekularisasi tetap memiliki hubungan dengan sekularisme.
Prof. H. M. Rasyidi, menerangkan, bagaimana pun juga sekularisasi mempunyai hubungan erat dengan sekularisme. Rasyidi mengkritisi pernyataan Nurcholish yang mengesankan seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid. Konsep sekularisasi cak Nur dinilai sebagai ide serampangan atau "semau gue".
Kritik yang sama kerasnya juga datang dari Endang Saefuddin Anshary, rekan cak Nur di HMI. Menurut Endang, bicara sekularisasi mau tidak mau mengundang asosiasi kepada sekularisme. Secara hisroris, sekularisme tumbuh di Barat sebagai reaksi terhadap kristianisme pada akhir abad pertengahan. Sekularisme, Endang menjabarkan, adalah isme (paham atau aliran) dalam kultur yang mempunyai tanda
a). secara sadar memusatkan perhatian pada masalah duniawi