Lihat ke Halaman Asli

Andi Zulfikar

wirausahawan yang sedang usaha bangkit

Wejangan Politik Sang Buya Untuk Kawula Muda

Diperbarui: 3 April 2024   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data menarik tentang jumlah orang dari setiap generasi di Indonesia berdasarkan usia mereka. Data ini merupakan hasil dari Sensus Penduduk 2020 dan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang harapan dari generasi yang akan datang.

Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012, mendominasi dengan jumlah sekitar 74,93 juta orang, yang setara dengan sekitar 27,94% dari total populasi. Mereka adalah generasi yang masih muda dan penuh semangat, menjanjikan banyak potensi dan perubahan di masa depan.

Di urutan kedua terdapat para Milenial, yang lahir antara tahun 1981 sampai 1996, dengan jumlah sekitar 69,38 juta jiwa. Mereka menduduki posisi yang signifikan dengan presentase sekitar 25,87%. Data ini mengundang refleksi mendalam. Bahkan Profesor Ahmad Syafii Maarif juga tertarik. Dia mengutip kata-kata Richard Falk dari Universitas Princeton yang menyebutkan bahwa kehadiran milenium baru membawa berbagai imajinasi dan ketidakpastian tentang masa depan.

Falk menulis, kita menyadari bahwa perubahan besar akan terjadi dengan kedatangan milenium baru, namun bentuknya masih merupakan misteri. Alat-alat pemahaman kita mungkin masih belum canggih, sehingga terkadang kita merasa bingung. Manusia pada umumnya tidak dapat meramalkan masa depan, tetapi kita hanya dapat berharap bahwa besok akan menjadi lebih baik dari hari ini.

Pertanyaan tentang hubungan antara milenium baru dan globalisasi, serta dampaknya terhadap politik di Indonesia, menimbulkan keingintahuan.

Ketika berbicara tentang globalisasi, kata Fukuyama, nilai-nilai Barat, terutama yang terkait dengan demokrasi liberal, dianggap sebagai pilihan terbaik untuk semua orang di dunia. Namun, ada pendapat lain, seperti yang disampaikan oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order", yang menyatakan bahwa perbedaan budaya menjadi faktor yang paling menonjol, bukan lagi tentang politik atau ideologi.

Huntington juga membicarakan konflik antara Barat dan non-Barat, termasuk Islam dan Cina. Dia mengatakan bahwa Islam dan Cina menjadi lawan utama Barat karena pertumbuhan mereka yang mengkhawatirkan. Namun, pendapat ini tidak diterima oleh semua pihak.

Meskipun demikian, baik Fukuyama maupun Huntington memiliki pandangan yang serupa, yaitu bahwa Barat, terutama Amerika Serikat, menjadi panutan utama bagi negara-negara yang ingin bergerak menuju demokrasi liberal. 

Menurut Syafii Maarif, pandangan Fukuyama dan Huntington terlalu sederhana. Ketua PP Muhammadiyah 1998-2003 ini, menjelaskan, sejarah menunjukkan bahwa Islam dan Barat tidak selalu bertentangan, tetapi dapat saling memengaruhi. Ideologi dan peradaban tidak dapat dipaksakan pada orang lain.

Lalu, format politik seperti apa yang cocok di masa depan mengingat perubahan global yang semakin cepat ini?

Pertanyaan tentang masa depan politik Indonesia semakin penting, terutama mengingat pandangan Samuel P. Huntington bahwa globalisasi saat ini sebagian besar didominasi oleh peradaban Barat atas wilayah lain di dunia. Namun, menurut Huntington, keunggulan ini tidak abadi; suatu saat bisa berakhir karena faktor internal atau eksternal lainnya. Jadi, bagaimana kita, sebagai bangsa Indonesia, secara strategis merancang format politik masa depan kita?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline