Kau sudah tidur? Saya belum. Saya masih mendengarkan lagu enak yang semakin lama saya dengarkan, berkali-kali, membuat saya semakin tak bisa ingin tidur. Mengingatmu seperti sedang mengurung diriku sendiri di dalam kotak. Tembok yang dulu pernah kau dan saya bangun, bertahun-tahun lalu, kini belum juga runtuh, dan kini nyaris hampir saja rubuh. Saya mengingatmu terlalu banyak, kadang-kadang, saya bahkan mengingatmu terlalu sedikit. Diwaktu senggang, saya nyaris mirip seekor burung Cikalang yang setelah kian lama kian hilang menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk terbang, dan terbang, dan terbang. Melupakan daratan. Melupakanmu. Hari-hari terjadi dan tak ada yang begitu penting. Wangi sabun, suara gemerisik angin, laba-laba menganyam jaring; atau embun pagi lebat yang menyerupai tirai jendela, hampir sama saja. Hujan mungkin akan terus seperti ini. Menjatuhkan, sekaligus mengangkat yang tersisa dari diri kita. Mereka akan terus mengisi kau dan saya, sejauh saya dekat, sedekat kau jauh. Apa pun itu, sekarang saya percaya: kita adalah penidur yang memburu mimpi sesuatu yang tak lagi ada.
Andi Wi
Pakuncen, 18 Maret 2019
Diedit kembali 24 Juni 2023
*) Diambil dari catatan: Aku mencintaimu. Tapi urusan itu tak lagi lebih penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H