Malam-malam sekali saya pulang dari toko hendak membeli sebungkus rokok ketika tiba-tiba saya melihat seorang Kakek, yang saya duga usianya 60 tahunan terlihat sedang duduk glosor di depan mini market. Saya kira ini adalah malam yang dingin sebelum akhirnya saya sadar ternyata saat itu (sudah) pukul tiga pagi. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Tapi Kakek itu seolah-olah memberi tahu saya bahwa ia sedang menjual tanaman bunga.
Tanaman bunga? Pikir saya. Demi tuhan, seumur hidup, saya belum pernah membayangkan ada seorang laki-laki tua, pukul tiga pagi, dan dia menjual bunga.
Saya sama sekali tidak tersentuh dengan acuan bahwa laki-laki itu adalah orangtua yang sedang mencari uang atau rejeki atau apalah kata yang tepat untuk mendiskripsikannya, guna untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Ayah saya bahkan seringkali nekat melakukan sesuatu yang konyol demi mencukupi kami sekeluarga. Kisah-kisahnya sangat menarik hingga saya kira bisa diangkat jadi film paling menyedihkan sekaligus lucu.
Akan tetapi, posisi saya saat ini, untunglah tidak seperti itu. Saya masih lanjang dan belum pernah memohon pada orang lain untuk tetap tinggal di sisi saya. Jadi saya pikir, saya biarkan saja orang lain pergi dan meninggalkan saya. Saya kira itu bagus bagi kesehatan saya. Untuk saat ini saya bukan hanya yakin, tapi saya tahu.
Oh ya, kembali lagi pada Kakek penjual tanaman bunga itu. Saya kira ini menarik. Kakek itu menjual bunga di bawah lampu remang pinggir kota, kemudian dibantu dengan sedikit sihir keberuntungan, memang, pada akhirnya menarik minat saya untuk mendekatinya. Tanaman yang Kakek jual itu jelek-jelek, saya harus jujur. Tapi tidak baik, saya sudah lumayan dewasa, dan tidak baik jika mengungkapkan apa yang saya pikirkan. "Selamat malam," ujar Kakek itu menyapa saya. "Mau beli tanaman bunga?"
Saya memandang wajahnya sekilas. Warna air mukanya sekejap saja membikin saya murung.
"Ini tanaman bunga apa?" tanya saya sambil menunjuk salah satu tanaman jalar kecil yang sudah ditongkati dengan sebilah tusuk.
"Oh yang kecil ini," katanya, "Ini namanya tanaman sirih merah. Lihat saja warna daunnya. Merah-merah kan?"
Benar juga, pikir saya. "Tapi tanaman itu ada makna mitos-mitosnya enggak, Kek?"
"Mitos? Oh tidak ada. Tanaman daun sirih merah ini fungsinya buat ngobatin batuk, tidak ada yang lain," katanya, lalu dia memeragakan vokal batuk kecil di hadapan saya, uhuk-uhuk.
Saya tahu kenyataannya tidak begitu. Dia hanya tak suka melihat saya yang mulai menyalakan rokok.