Bila ada yang bertanya pada saya: "Seperti apa gambaran ibumu ketika beliau jadi ibu?"Tanggapan pertama saya, tentu saja dengan berbesar hati, menjawab: beliau biasa saja.
Ibu saya memang biasa saja. Bahkan sampai detik ini saya menuliskannya. Sebetulnya saya tidak bisa berhenti memikirkan apa utamanya ibu saya untuk jadi seorang ibu bagi saya? Apa yang membedakan beliau dengan Ibu-ibu lainnya. Apa hal yang paling intens sehingga beliau begitu mencolok dari ibu-ibu di luaran sana.
Mungkin tidak ada. Atau itulah yang membuat saya menyerah memikirkannya. Sebab semakin saya memikirkan celah itu semakin saya tidak menemukan perbedaan mendasar yang saya cari.
Usia saya 25 tahun, dan selama itu pula saya bersama beliau, mengenali watak dan tabiat beliau; mengenali aroma keringatnya yang menempel dan sesekali disekanya ketika gerah dengan ujung jari, mengenali beliau dari bau masakannya, caranya memanggil anak lelakinya, caranya hadir ke sekolah mengambil rapor.
Ibu saya biasa saja. Namun rasanya, jika ibu saya biasa saja mengapa saya berharap beliau luar biasa? Bukankan itu artinya saya telah menyakitinya? Saya tak ingin menyakiti ibu saya. Saya menyayanginya, bahkan tak rela jika sampai dia meninggalkan saya seperti waktu itu.
Saya ingat suatu kali pernah merengek minta dibelikan sepatu baru pada beliau. Sejak kecil pertama masuk sekolah dasar, sudah jadi kebiasaan, kalau tiap tahun, tiap kenaikan tingkat kelas, saya mendapatkan sepatu baru dari Ibu. Tapi tahun itu tidak.
Itu terjadi di tahun ketika saya naik kelas dua SMP. Dan di tahun itu pula ibu saya tak sanggup memenuhi kewajibannya. Saya pun benar-benar kecewa pada Ibu saya.
Apalagi ketika beliau bermaksud menghibur saya dengan mengatakan, "Kan sepatu yang lama masih bagus. Masih kuat, masih pantes dilihat," katanya. Lantas menambahkan, "Beli sepatu barunya tahun depan aja ya? Ibu enggak punya uang. Nanti kalo masuk kelas tiga Ibu janji deh, beliin sepatu baru buat kamu."
Pagi di hari Minggu itu saya tak ingat jawab apa. Namum saya tahu betul bahwa saya begitu jengkel. Lalu seperti anak perempuan yang sedang jengkel, saya masuk ke dalam kamar.
Seharian saya di dalam kamar. Dan selama dua hari saya memutuskan puasa bicara dan makan sebagai sikap protes terhadap perlakukan Ibu. Saya pun enggan masuk sekolah.
Namun bukannya melerai dan mendinginkan keadaan saya, ibu justru tidak peduli dengan ritual kekanak-kanakan itu. Beliau sama sekali tidak terguncang ketika saya menderita kelaparan.