Lihat ke Halaman Asli

Andi Wi

TERVERIFIKASI

Hai, salam!

Cerpen | Kesepakatan

Diperbarui: 21 November 2017   02:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: https: Intagram/mayrianadhani/

"Kau pernah mengira enggak, kalo aku ini bakal jadi jodohmu?"

Dia bertanya seperti itu, dengan nada  enteng dan intonasi umum yang seolah-olah lazim dipertanyakan sepasang pengantin yang baru saja menikah.

Usia pernikahan kami baru dua hari. Dan lebih buruk dari itu, kami lebih sering bertengkar mengenai hal-hal sepele bahkan soal kebiasaanku melamun ketika berbaring di sampingnya.

Aku tak pernah membayangkan akan membuat kesepakatan lagi. Dengan orang lain. Penyatuannya terlalu rumit. Bahkan kurasa lebih mudah jika kita tak perlu repot-repot memahami orang lain bahwa ia juga memahami diri kita.

Istri pertamaku bernama Sikat. Oh. Aku senang memanggilnya begitu. Kami hidup bersama di bawah satu atap selama satu dasarwarsa dan dia tak pernah bisa berbagi apa pun denganku. "Apa yang jadi milikku adalah milikku. Juga sebaliknya."

Aku tahu dia tak menyukaiku karena aku sering kepergok memakai sikat giginya. Kata dia, aku merusak selera makannya. Dia berdoa semoga dosaku diampuni. Seringnya dengan nada begitu kesal.

Kami tidak punya anak. Tepatnya apa yang kumiliki adalah milikku sendiri. Jadi aku tak boleh menyentuh barang-barang kepunyaannya. Tentu saja kami saling mencintai. Nah, setidaknya itulah yang kurasakan. Namun dia selalu mengingatkanku bahwa kesepakatan adalah kesepakatan. Aku bilang setuju. Lalu berusaha lagi masuk ke dalam area wilayah kecilku lagi. Terus seperti itu. Kurasa terus selamanya, hingga sampai ketika aku kecurian lagi kepergok di dalam kamar mandinya.

Kami memang tidur dalam satu kamar. Selama sepuluh tahun.

Kamar kami kecil. Dan lebih kecil lagi karena ruangan itu dipisah menjadi dua ruangan. Dua ranjang tempat tidur, dua lemari, dua meja belajar, dan dua kamar mandi.

Malam itu kupikir dia sudah tidur. Dua lampu di sisi ranjang kami sudah dimatikan dua puluh menit lalu. Cahaya bulan bersinar agak redup menyelinap memasuki tirai jendela dan menyinari keningku. Lalu mataku yang tertimpa cahaya itu seketika membangunkanku dari mimpi pendek namun agak indah.

Tak ada pikiran jahat ketika itu. Akan tetapi aku memutuskan bangkit dari ranjang dan menginginkan mimpi itu dituntaskan malam itu juga. Dan malam itu juga, aku diam-diam menyelinap ke kamar mandinya, mencari celana dalamnya, menciumi celana dalamnya dan mulai melakukan hal yang sebaiknya kulakukan untuk menuntaskan rasa kebinatanganku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline