Lihat ke Halaman Asli

Andi Wi

TERVERIFIKASI

Hai, salam!

Membaca Afi Nihaya Faradisa, Gadis Kritis Melalui Menulis

Diperbarui: 13 Desember 2016   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: mediasulteng.com

Sebenarnya ada banyak sekali tulisan yang harus saya selesaikan. Dan ketika menulis ini, saya telah menyelesaikan sekitar 4 halaman ms.word.  Jadi tidak masalah saya bersenang-senang melakukan aktivitas lain, seperti mencium aroma buku yang baru saja saya beli untuk menutupi kepala saya sambil berbaring di kamar sampai tertidur. Tapi hal itu tidak saya lakukan. Saya membuka facebook. Mudah ditebak, biasanya jam-jam begini adalah jam-jam yang rawan fanspage Tere Liye hangat disebarluaskan seperti virus pembangkit semangat untuk mereka yang merasa hidupnya terpuruk, memotivasi jomblo untuk tetap tabah menunggu pangeran berkudanya mengenakan sorban lengkap dengan kopyahnya datang. Kata-kata yang ditulis oleh Tere Liye sepertinya selalu berhasil membujuk khususnya para wanita untuk menyebarluaskan, merapatkan hatinya, seperti jamaah yang hendak menunaikan ibadah sholat.

Dalam beberapa detik saja. Berada Facebook-mu hampir bisa dipastikan ada nama Tere Liye di sana --yang cerewet itu, yang dibagikan oleh orang lain, atau malah dibagikan oleh dirimu sendiri. Saya senang menyebutnya cerewet. Jika kau menyebutnya dengan nama indah sekalipun, tak apa, itu hanya masalah ungkapan saja.

Tapi beberapa menit lalu, di beranda Facebooksaya ternyata diisi oleh orang lain. Seorang wanita, masih kecil. Berusia setara anak kelas 12. Afi Nihaya Faradisa namanya. Ia berasal dari daerah Banyuwangi. Lahir 23 Juli 1998. Ia anak perempuan yang manis, dan tak satu pun teman sekelasnya mampu merebut posisinya dari daftar rangking pertama ssat masih SD.

http://sulsel.pojoksatu.id

Afi bukanlah seorang anak manis yang haus akan persetujuan orang lain tentang pendapatnya yang ia tulis. Ia hanya sedang berusaha mengajak kita mampu berpikir terbuka, kritis dan meragukan berita-berita hoax. Saya tahu karena saya menguntit beranda wanita cantik ini, dan menurut penuturannya ia adalah salah satu admin dari sebuah gruop yang mematahkan informasi hoax. itu saja informasi tentang dirinya.

Afi, yang mari kita sebut sebagai anak yang belakangan menjadi viral di berbagai lini masa sosial, bukanlah sebuah tokoh yang berpengaruh, tentu saja, karena ia hanya anak kecil yang jika kita hadapi dengan duduk bersamamnya sebagai lelaki dewasa, sementara anak itu terus-menerus mengoceh di hadapanmu, cuma akan membuatmu melenguh dan berkata, “Apa-apaan sih anak ini!”

Untuk anak seumuran Afi, subjektif saya dia adalah anak yang pintar. Dia menulis dan membuat kita sadar, betapa kecil sebenarnya diri kita, ceroboh serta pemalas. Saya kembali mengingat masa sekolah saya ketika berusia kelas 12. Ah, saya tidak bisa bayangkan dengan jelas, namun yang pasti, saya sering tidak remidial dan itu sudah membuat saya senang. Sebatas itu. Sementara Afi, dia sudah dapat menulis dengan perasaan yang membuat orang lain, seumurannya, bahkan orang dewasa, melewati waktu-waktunya dengan perasaan menyesal habis-habisan. Saya yakin Afi ini, mengerti kerumitan Ullyses, kompleksitas Jame Joice, memandang Socrates dengan pandangan penuh kagum, dan membaaca banyak sekali buku Sigmund Freud.

Dia membaca banyak hal, dan tiba-tiba merasa dirinya kritis, lalu ia mulai menulis dan menui pujian dari berbagai kalangan hingga membawa dirinya menjadi viral di media sosial. Seseorang menyampaikan rasa syukurnya kepada negeri ini dengan mengatakan, “Wah, Indonesia harus berbangga memiliki Afi, wanita cerdas nan kritis.”

Saya juga senang. Saya senang ia lahir di masa yang tepat, keluarga yang tepat, dan di negara yang tepat. Tepat ketika usahanya selama ini membaca buku-buku, menulis dan memperoleh pujian yang berlimpah. Saya sangat senang.

Sementara ketikasenangan saya adalah ketika orang-orang dengan kebanyolannya, dadanya yang montok, suara pas-pasan, mereka menjadi orang yang terkenal. Saya membenci televisi. Benda kotak itu membuat saya pusing. Saya juga benci sayur opor, yang meninggalkan bulunya di kepala ayam. Terlebih jika menyantapnya sambil menonton televisi. Benar-baner bikin mual.

Baiklah, harapan saya menulis ini adalah terutama untuk remaja Indonesia supaya gemar membaca, dengan melakukan itu kita jadi menyerap berbagai ilmu dan tidak mudah mempercayai berita-berita hoax. Lagipula, membaca merawat ingatan, menjauhkan penyakit alzheimer, membuat percaya diri, memudahkan kita membedakan mana mitos dan sejarah. Apalagi? Menjadi seperti Afi. Boleh. Boleh sekali. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline