Pada Minggu pagi di bulan April yang cerah, kau memutuskan untuk menunggunya lagi. Kau kembali memperoleh keyakinan bahwa dia sedang menguji keotentikan penantianmu.
7 tahun berlalu, di hari Selasa ketika kalian masih mengenakan seragam abu-abu, kau akan ingat pertama kali kau menulis puisi untuknya. Menyuruh dan mengupah temanmu yang cemberutan itu supaya menaruhnya di majalah dinding sekolah, ketika akhirnya kau lega mengetahui gadismu menyukai puisimu.
Atas saran bayang-bayangmu, kau membubuhkan inisial kecil di pojok kertas. Kepada siapa puisi itu ditujukan. Untuk: Lima Elnung Nenas. Satu-satunya kesalahan fatalmu adalah kau tidak mau mengakui bahwa puisimu adalah puisimu. Tapi temanmu yang berpenampilan lebih rapi dari seorang hakim, memintamu agar mengakui perbuatanmu seperti tersangka meskipun kau telah mengupahnya lebih besar dari kesepakan awal. Ia mendadak menjadi hakim yang kudus dan suci. Maka ia menolak, tapi kau mengancamnya.
Lantas temanmu pun mengeluh, "Lalu apa yang harus kukatakan padanya, jika ia bertanya?"
"Bilang bahwa kau harus pergi ke toilet."
"Sampai kapan?"
"Lakukan saja seperti langkah awal."
Gadismu lambat memahami orang yang dicintainya, sementara kau terlalu cepat percaya bahwa dia mencintaimu. Puisimu berhasil mengambil hatinya tapi gagal menandai letak cintamu seharusnya berada di hati itu.
Kau ingin sekali mengatakan kau mencintainya, kau bisa menunggu jika dia mau. Tapi tanpa kau mengatakan itu dia memang memintamu agar terus menulis puisi.
"Untukmu?" Kau bertanya.
"Kalau kau tak keberatan."