Butuh ketrampilan memadai menulis fiksi. Mengulas keintiman dunia imajinasi, saya rasa, seperti mengukur probabilitas doa dengan cara yang sama dilakukan para pertapa. Penulis fiksi, mereka gemar menyimak alam, menjinakkan angin liar yang berisik yang dapat mengusik ketenangan mereka, hingga pada titik tertentu bahkan mendengar suara degup jantung sendiri pun mereka merasa terganggu. Mereka ingin menghasilkan tulisan yang menarik, berkualitas yang dapat diingat sepanjang ingatan manusia.
Masifnya kelahiran penulis fiksi di era Z, adalah satu dari banyak alasan menghasilkan penulis buruk. Buku-buku diproduksi, ditumpuk dan diedarkan dan best seller. Buku yang digoreng dengan bahasa menjemukan hampir membosankan tapi itulah kacang. Kacang goreng yang laris manis.
Ernest Hemingway tahu itu. Penulis buku The Old Man and the Sea, telah berusia 62 tahun dan tak ingin berkontribusi sebagai penjual kacang, setelah menyadari bahwa ia sudah tak mampu menulis bagus lagi. Lalu ia mengakhiri hidupnya.
Di kompasiana, di kanal fiksi, Anda boleh tenang saya kira, karena ada beberapa penulis, yang menurut ukuran saya cukup mumpuni. Maksud saya, mereka "benar-benar menulis" dan perlu diingat dan menandai nama kecilnya ketika kelak, mampir ke toko buku, dan berbaris di kasir hanya karena nama mereka ada di buku tersebut. Di toko buku tersebut.
1. Pringadi Abdi Surya. Pria Palembang satu ini cakap bertutur ditiap tulisannya. Puisi-puisinya deras dan beberapa cerpennya cukup menjanjikan untuk dibaca sebagai menambah wawasan. Artikelnya sporadis. Tidak khusyuk pada satu kanal. Tapi tulisan fiksinya lebih mendominasi.
2. Krisna Pabicara. Wah, Daeng satu ini hanya memerlukan beberapa bulan saja (4 bln mungkin) untuk naik kasta biru, yang menunjukkan betapa bermanfaatnya beliau di kanal fiksi dan tips-tips yang dibagi untuk family Kompasiana tercintai ini. Itu benar. Bukunya banyak. Artikel Daeng, cukup populer di ingatan saya. Meskipun lama ini beliau tidak muncul.
3. Harry Ramdhani. Bekerja di balik layar sebagai kurator Kompasiana, sering dipanggil "Mbak Ramdhani" dan itu menggelikan. Dan dalam usaha mengharukan lainnya yang sangat ia minati adalah ingin namanya ada, dalam kata pengantar skripsi orang lain. Amin. Pernah merenung di kali dan merasa bingung karena mules, mungkin hanya lupa bagaimana cara mengawali "pup" yang baik dan benar tanpa membuka celana dan menghasilkan bunyi "plung" tanpa menimbulkan keributan, karena beliau tak berminat menarik perhatian orang lain saat BAB di sungai. Tapi puisinya tulus, jernih dan ya, sendu. Seperti suara corong kue putu.
Saya memilih mereka sebagai calon dalam ajang Kompasianival 2016, kategori "Best In Fiction" karena cukup yakin bahwa mereka, bukan penulis kacangan. Baiklah, atas keyakinan yang tak luput sebagai manusia karena telah menghasut Anda untuk memilih 1 dari 3 kandidat tersebut, karena Anda tentu saja berhak memilih siapa saja. Saya meminta maaf. Juga untuk Kompasianer lain, yang namanya tak saya sebut dan sebut. Saya meminta maaf.
Salam saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H