Lihat ke Halaman Asli

Infrastruktur Menjadi Urat Nadi Perekonomian

Diperbarui: 20 Desember 2016   20:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Infrastruktur merupakan urat nadi perekonomian. Nyawa dapat terancam apabila terjadi penyumbatan pada urat nadi. Begitu juga dengan Infrastruktur.  Ketika infrastruktur tidak memadai dalam perekonomian (baik dalam hal kualitas maupun kuantitas), ekonomi akan berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien karena biaya logistik yang tinggi.  Bisnis menjadi tidak kompetitif, serta berdampak kepada keadilan sosial. Contoh saja, sulit bagi sebagian penduduk untuk mencapai fasilitas kesehatan, atau sulitnya anak – anak untuk dapat menuju ke sekolah.

Infrastruktur dan pembangunan ekonomi memiliki hubungan timbal balik.  Artinya pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier.  Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperbesar infrastruktur yang ada untuk menyerap aliran barang dan sumber daya manusia yang terdapat pada seluruh kegiatan perekonomian.

Indonesia, dianggap lemah dalam pembangunan infrastruktur di asia tenggara ditandai dengan sedikitnya pelabuhan, bandara, jembatan dan jalan. Dan tidak jarang juga dikatakan bahwa kualitas infrastrukturnya yang tidak begitu baik.  Beberapa tahun yang lalu, orang-orang di Jakarta sering mengeluh bahwa lebih murah untuk mengimpor jeruk dari Cina daripada mendapatkannya dari tempat lain di Indonesia. Karena memang biaya logistik yang tinggi apabila dibandingkan dengan jeruk impor dari China.

Mengembangkan infrastruktur di Indonesia, baik hardmaupun soft infrastructure, bukanlah hal yang mudah. Indonesia terdiri dari sekitar 17.000 pulau yang membuatnya lebih kompleks untuk meningkatkan konektivitas dan mengatakan adanya kebutuhan untuk fokus pada infrastruktur maritim.

Pemerintahan di era pasca-Soeharto menekankan perlunya pembangunan infrastruktur tetapi belum berhasil dalam mencapai ambisi tersebut. Hal ini terutama disebabkan oleh konteks politik yang berbeda, yaitu demokrasi dan desentralisasi yang berarti bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi menggunakan kekuatan dan tekanan militer untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek infrastruktur.  Sementara pemerintah daerah yang terkadang gagal untuk mendukung rencana pembangunan infrastruktur pemerintah pusat karena pemerintah daerah melihat tidak adanya keuntungan langsung secara finansial bagi pemerintah daerah.

Sementara itu, untuk proyek-proyek infrastruktur besar yang membutuhkan lahan di lebih dari satu provinsi akan menjadi lebih rumit karena Indonesia tidak memiliki kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.


Selain itu juga memang biasanya terdapat hubungan dekat antara elit politik dan para pengusaha di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua kelompok tersebut fokus pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, bukan kesejahteraan masyarakat setempat.  Hal ini dapat menyebabkan penundaan dalam pembangunan infrastruktur.  


Sementara itu, terdapat birokrasi yang sangat kompleks di Indonesia.  Sebagai parlemen, pembuatan aturan biasanya mencakup isu-isu makro, sedangkan fine-tuning dilakukan melalui berbagai peraturan menteri, birokrasi yang memungkinkan berperan besar dan menyebabkan kerangka peraturan yang tidak jelas.
Maka dari itu perlu sebuah pendekatan atau cara baru.  

Taktik yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pembangunan infrastruktur adalah penunjukan BUMN untuk menjadi pengembang proyek infrastruktur utama.  Perusahaan milik negara ini biasanya memiliki aset lebih besar dibandingkan dengan perusahaan swasta dan dapat juga lebih mudah mengumpulkan dana tambahan dari bank khususnya bank BUMN.  Ada juga peningkatan suntikan modal dari anggaran negara kepada perusahaan BUMN pembangun infrastruktur.  Presiden Joko Widodo juga mencoba untuk menghindari proses lelang panjang dengan mengadakan tender dalam satu tahun sebelum proyek ini melakukan groundbreaking.

Tetapi memang masalah terbesar dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah masalah finansial.  Meskipun pemerintah pusat telah menaikkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur secara drastis dalam beberapa tahun terakhir,masih tidak cukup dana yang tersedia untuk pembangunan infrastruktur dan karena itu juga memiliki ketergantung pada partisipasi sektor swasta. Untuk menarik sektor swasta, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang intensif jangka panjang, iklim investasi yang kondusif sangat diperlukan. Salah satu aspek yang paling penting adalah untuk memberikan kepastian hukum.


Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, yakin bahwa banyak dana anggaran non-negara dapat dikumpulkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur di Indonesia pada tahun 2017 yang berasal dari investasi langsung serta bagian dari repatriasi dana di bawah program Tax Amnesty.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline