Lihat ke Halaman Asli

Cukai untuk Minuman Berkarbonasi? Siapa yang Rugi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Akhir-akhir ini banyak berita yang beredar mengenai isu pengenaan cukai pada minuman berkarbonasi. Alasan pemerintah ingin mengenakan cukai pada minuman bersoda adalah meningkatkan pendapatan Negara dan untuk mencegah dampak konsumsi yang berlebih dari minuman tersebut.  Konsumsi yang berlebih dari minuman bersoda dianggap mengganggu kesehatan, seperti obesitas dan sebagainya.

Apabila dilihat dari komposisi, minuman bersoda tidak berbeda jauh dengan komposisi minuman dalam kemasan lainnya.  Komposisi utama dalam minuman bersoda adalah air, dan komposisi lainnya adalah gula/pemanis sintetis, pewarna, pengasam, kafein, dan karbon dioksida (CO2), mirip minuman dalam kemasan lainnya.  Dari tabel nutrisi pada minuman seperti jus dalam kemasan, minuman manis dalam kemasan, jumlah kalori dan gulanya banyak yang melebihi minuman bersoda.  Apabila memang kesehatan yang menjadi perhatian pemerintah, tidaklah adil apabila hanya minuman bersoda yang akan dikenakan cukai.  Mengapa minuman dalam kemasan lainnya tidak dikenakan cukai?

Perhatian pemerintah selanjutnya adalah untuk menggenjot penerimaan Negara dari cukai yang dikenakan.  Suatu hal yang positif apabila memang bisa menggenjot penerimaan Negara.  Tetapi pemerintah perlu mengkaji ulang dampak pengenaan cukai minuman bersoda pada penerimaan Negara.  Pemerintah berencana mengenakan cukai sebesar Rp 1.000 – Rp 5.000 / liter minuman bersoda.  Dampak positif dari pengenaan cukai ini adalah pemeritah mendapatkan tambahan pemasukan sebesar Rp 590 miliar/tahun. Tetapi dampak negatif yang lebih besar, yaitu penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 562,7 miliar, penurunan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) sebesar Rp 736,1 miliar, dan penurunan Biaya Pemungutan Pajak sebesar Rp 562,7 miliar.  Sehingga apabila dikalkulasikan antara pendapatan dan penurunan yang akan terjadi, maka total kerugian negara bisa mencapai Rp 783,4 miliar.

Dari sisi publik juga akan dirugikan dengan adanya pengenaan cukai pada minuman berkarbonasi.  Menurut hasil research LPEM UI yang berjudul “The Profile of Soft Drink Industry and the Economic Impact of Excise Duty Imposition on Carbonated Drink” pada tahun 2013, dengan asumsi terjadi kenaikan harga sebesar Rp 3.000 pada minuman berkarbonasi, tentu akan menurunkan permintaan sekitar 64,9%.  Tidak hanya minuman berkarbonasi yang akan turun permintaannya, tetapi juga minuman seperti isotonik dan teh dalam kemasan juga akan turun permintaannya.  Penurunan permintaan ini tentu juga akan menyebabkan penurunan pendapatan perusahaan dan hal ini dapat menyebabkan kerugian pada industri minuman berkarbonasi yang kecil.  Bahkan dapat menyebabkan tutup/bangkrut.

Memang di beberapa Negara seperti Amerika, Mexico, India, dan Thailand mengenakan cukai pada minuman berkarbonasi atau soft drink. Konsumsi per kapita negara-negara tersebut besar.  Sebagai contoh, konsumsi masyarakat Amerika terhadap minuman berkarbonasi adalah 145 liter/kapita, di Mexico mencapai 160 liter/kapita, dan di Thailand 32 liter/kapita.  Sedangkan konsumsi terhadap minuman berkarbonasi masyarakat Indonesia hanya 2,4 liter/kapita.  Ini masih jauh dibandingkan dengan negara-negara diatas.

Sangatlah tidak wajar apabila konsumsi minuman berkarbonasi masyarakat Indonesia hanya 2,4 liter/kapita namun dikenakan cukai dengan alasan utamanya adalah kesehatan.  Kalau memang pemerintah concern pada kesehatan, kenakan saja cukai pada semua minuman yang mengandung gula atau pemanis buatan di dalamnya.  Itu akan terasa lebih adil bagi semua industri minuman, bukan hanya minuman yang mengandung soda saja.

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai  sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007, Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai.

Cukai dikenakan terhadap Barang Kena Cukai yang terdiri dari Etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.  Lalu barang yang dikenakan cukai dalah barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Maka saat ini untuk sementara waktu kita baru mengenal tiga jenis barang kena cukai secara umum, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau.  Memang tidak menutup kemungkinan perubahan jenis barang kena cukai.  Pemerintah harus mengeluarkan PP (Peraturan Pemerintah) cukai pengganti terlebih dahulu sebelum pemberian cukai pada minuman berkarbonasi ini dilaksanakan.

Dan kalau memang pemerintah ingin mengenakan cukai, apakah yang dikenakan keseluruhan minumannya? Atau hanya gulanya saja? Atau zat pemanit sintetisnya? Atau apa? Ini semua harus ada kejelasan. Karena apabila kesehatan yang menjadi perhatian, maka seluruh zat yang dapat memicu penyakit, seperti gula atau pemanis buatannya yang dikenakan cukai. Bukan minumannya.

Sebagai penutup, saya ingin memberi saran kepada pemerintah. Akan lebih bijak apabila pemerintah mengkaji ulang mengenai pengenaan cukai pada minuman berkarbonasi ini.  Beban yang didapat lebih besar dibandingkan dengan pendapatannya dan akan menyebabkan kerugian fiskal yang besar dalam satu tahunnya.  Kalau memang ingin mengenakan cukai, ya kenakan pada semua minuman yang mengandung gula atau pemanis sintetis, jangan hanya kepada minuman berkarbonasi saja.  Pengenaan cukai terhadap minuman ringan bersoda ini pernah diterapkan pada 2001-2002.  Namun kebijakan ini akhirnya dicabut setelah ditolak dan dikaji ulang.  Apakah pemerintah ingin melakukan hal yang sama?

Salam,

ANDITYO TRIUTOMO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline