Pemilu 2019 sudah lama berlalu, namun polarisasi yang terjadi di antara elemen-elemen bangsa masih terasa. Polarisasi yang berlarut-larut dan merupakan warisan pemilu 2014 menyisakan sekat-sekat pada tatanan bangsa. Kini masyarakat tidak lagi mudah berkata berbeda. Diskusi ilmiah seolah menjadi barang langka, debat kusir tanpa solusi kian menggema.
Sederhananya, bangsa ini menjadi semakin sulit untuk berdialog terbuka dengan akal sehat. Seolah mengalami kebuntuan dalam menemukan solusi terbaik bagi bangsa. Pemimpin tertinggi negeri seperti kering akan nasihat bijak para pendahulunya.
Karena alih-alih menjadi 'the elders' atau 'yang dituakan', sebagian tokoh-tokoh senior bangsa ini masih aktif berpolitik praktis, dan pemikirannya seringkali dikait-kaitkan dengan agenda politik tertentu. Padahal sebagai politisi senior harusnya pemikiran mereka bisa menjadi obat mujarab bagi persoalan negeri ini.
Apa sebenarnya 'the elders' itu? Mengapa peranannya seolah menjadi penting dalam pembangunan bangsa ini ke depan? Dalam terminologi politik, memang tidak ada rujukan yang spesifik tentang definisi 'the elders'.
Namun sederhananya, 'the elders' adalah kumpulan orang-orang berpengalaman, yang memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan atau biasa disebut sebgaai 'guru bangsa'. Peranan 'the elders' salah satunya adalah menjadi tempat diskusi Presiden dan pimpinan tinggi bangsa dalam membantu menyelesaikan permasalahan bangsa.
Para tokoh bangsa yang sudah malang melintang di bidangnya tentu bisa menjadi bagian dari 'the elders', namun dalam tingkatan kepemimpinan tertinggi sebuah negara, tentu seorang mantan Presiden idealnya adalah bagian dari 'the elders'.
Di Amerika Serikat, fungsi 'the elders' bukanlah perkara baru. Fungsi ini diperankan oleh President's Club. Seperti yang diilustrasikan dalam buku karya Nancy Gibbs dan Michael Duffy yang berjudul "The Presidents Club: Inside the World's Most Exclusive Fraternity" disebutkan bahwa sebenarnya secara diam-diam bahkan terbuka, para mantan Presiden AS kerap memberikan saran dan nasihat bagi Presiden yang sedang menjabat.
Karena sejatinya yang bisa berpikir dan bertindak seperti Presiden hanyalah seorang Presiden dan seorang mantan Presiden. Itu adalah privilege. Untuk itu posisi 'the elders' ini menjadi penting dan tak tergantikan.
Fakta sejarah membuktikan misalnya, bagaimana Presiden John F. Kennedy memiliki cerita tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan invasi Bay of Pigs. Kennedy tidak segan meminta pendahulunya, Presiden Dwight D. Eisenhower untuk bertukar pikiran. Terdapat foto historis di Camp David dari keduanya yang menyiratkan adanya dialog mendalam antara 'the elders'.
Tradisi yang sama juga diperlihatkan oleh Presiden Obama dalam masa kepemimpinannya. Meskipun waktu itu dirinya tidak dalam suasana krisis, namun Obama berinisiatif mengundang 'living Presidents' untuk berdiskusi persoalan kebangsaan di White House. Tampak hadir Presiden Jimmy Carter, Presiden Bush Senior, Presiden Bill Clinton, dan Presiden Bush Junior.
Meski publik pun tahu hubungan diantara mereka tidak selalu berjalan mulus. Namun, tradisi silaturahmi ini perlu diapresiasi dan diteladani pemimpin negeri ini. Bagaimana Presiden yang sedang menjabat tetap memposisikan penting para mantan Presiden sebagai pendahulunya, dan juga sebaliknya bagaimana para mantan Presiden memposisikan dirinya sebagai teman diskusi dan pendengar yang baik dari Presiden yang menjabat.