Lihat ke Halaman Asli

Andi Triswoyo

Konsultan, Penulis

Yurisprudensi Putusan PCA Case Philippines vs China, Basis Legitimasi Kedaulatan Indonesia di Laut Tiongkok Selatan

Diperbarui: 21 April 2024   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di tengah memanasnya perseteruan klaim Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas sebagian wilayah di kawasan Laut Tiongkok Selatan (LTS), muncul sebuah oase bagi negara-negara yang berkepentingan atas klaim sepihak RRT atas kawasan LTS, yaitu putusan Permanent Court of Arbitration (PCA) yang menghadapkan RRT dan Filipina pada 12 Juli 2016 silam. Putusan PCA secara sederhana, adalah mengabulkan permohonan gugatan Filipina atas RRT terhadap sejumlah wilayah yang diklaim sepihak oleh RRT. 

Keluarnya putusan tersebut secara tidak langsung memberikan "angin segar" bagi negara-negara yang berkonflik dengan RRT, seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia untuk menggunakan strategi yang sama untuk meredam ambisi klaim RRT atas sejumlah wilayah di kawasan LTS. Dalam konteks hukum internasional tersebut, putusan tersebut merupakan sebuah yurisprudensi yang dapat menjadi sumber hukum internasional. Tulisan ini bermaksud untuk menelusuri pentingnya yurisprudensi putusan PCA Case Philippines vs China terhadap basis hakim dalam memutus perkara yang sama dalam sengketa wilayah di LTS, yang juga dapat menjadi basis legitimasi kedaulatan Indonesia di LTS.

Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum Internasional

Hukum internasional publik, yang kemudian lazim dikenal dengan hukum internasional merupakan ranah hukum yang mengatur hubungan-hubungan maupun peristiwa hukum yang melibatkan subjek-subjek hukum internasional. Dibedakan dari hukum privat, yaitu hukum perdata internasional, hukum internasional tak lain merupakan hukum internasional yang bersifat publik, dengan negara sebagai subjek hukum utamanya pada mula-mula. Seiring dengan perkembangan yang terjadi di tingkat internasional/global, subjek hukum yang diakui dalam konteks hukum internasional bertambah, antara lain organisasi internasional, tahta suci, pemberontak hingga individu/perseorangan.

Setiap cabang hukum memiliki sumber hukum masing-masing, tidak terkecuali hukum internasional. Menurut J.G Starke sebagaimana dikutip oleh Renata Christha Auli (2024), dikenal beberapa sumber hukum internasional, antara lain (1) custom atau kebiasaan internasional; (2) traktat; (3) keputusan-keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrase; (4) juristic works atau karya-karya yuridis; dan (5) keputusan atau ketetapan organ-organ lembaga internasional.[1] Dalam tulisan akan dibahas mengenai yurisprudensi yang notabene merupakan keputusan-keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrase. Hal ini dapat ditelusuri dari pengertiannya secara harfiah, yang berarti pengetahuan hukum (ius prudentia), sementara Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan yurisprudensi sebagai ajaran hukum melalui peradilan; atau himpunan putusan hakim (Hukumonline, 2023).[2] Dalam pengertian tersebut, tidak salah jika penulis menyamakan pengertian yurisprudensi sebagai keputusan-keputusan pengadilan atau badan-badan arbitrase, yang menjadi salah satu sumber hukum internasional. 

 

Mengenal Putusan PCA Case Philippines vs China

 

Putusan PCA Case Philippines vs China merupakan putusan dari salah satu badan arbitrase internasional, yaitu Permanent Court of Arbitration (disingkat PCA), terhadap sengketa wilayah maritime yang memperhadapkan RRT dan Filipina yang terdaftar pada 12 Juli 2016. Dalam forum tersebut, arbitrase diketuai oleh Hakim Thomas A. Mensah beserta 4 hakim, yang terdiri dari Jean-Pierre Cot, Stanislaw Pawlak, Alfred H.A Soons, dan Rudiger Wolfrum. Sebagai informasi, PCA merupakan organisasi internasional yang berbasis di Den Hag, Belanda pada 1899.

 

Arbitrase yang menghadapkan dua pihak, yaitu RRT dan Filipina membahas mengenai basis hukum terhadap hak dan pelekatannya di LTS, status wilayah geografis tertentu di LTS serta keabsahan tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan oleh Tiongkok pada kawasan tersebut. Adapun dasar hukum arbitrase tersebut adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa atas Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS). Dalam kasus tersebut, masing-masing pihak berusaha mencari keputusan mengenai basis hukum atas sejumlah wilayah yang disengketakan, khususnya kepulauan Spratly. Dalam kasus ini, Filipina secara kukuh mendasarkan argumennya pada UNCLOS 1982, sementara RRT mendasarkan diri pada argumen historis terhadap wilayah yang dikenal 9 Garis Putus-Putus (nine dash lines). Dalam proses tersebut, Filipina mempertanyakan serangkaian tindakan RRT yang dinilai telah melanggar beberapa hal, antara lain (1) mengintervensi pemenuhan hak Filipina di bawah Konvensi, termasuk penghormatan terhadap perikanan, eksplorasi minyak, pelayaran dan pembangunan dan instalasi kepulauan artifisial; (2) gagal untuk melindungi dan melestarikan lingkungan kelautan dengan mentoleransi dan mendukung nelayan-nelayan RRT dalam memanen spesies yang terlindungi dan penggunaan metode penangkapan ikan yang berbahaya yang dapat merusak ekosistem koral rapuh; dan (3) menimbulkan bahaya terhadap lingkungan laut dengan membangun kepulauan artifisial dan terlibat dalam perluasan reklamasi tanah di 7 koral di kepulauan Spratly (Permanent Court of Arbitration Award,2016 : 3). Dalam forum ini, RRT secara konsisten menolak gugatan Filipina dengan tidak melibatkan diri dalam berbagai forum arbitrase.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline