Latar Belakang
Samosir adalah bagian dari sebuah peradaban. Sebagai daerah beretnis Batak Toba, yang tergabung dalam masyarkat plural bernama Indonesia, Samosir memiliki segenap potensi untuk mengembangkan dirinya, sekaligus menandaskan superioritasnya sebagai daerah permulaan orang Batak. Meskipun demikian, Samosir ternyata belum memperlihatkan segenap "talenta ajaibnya", dikarenakan belum berdayanya masyarakat setempat untuk mengembangkan diri, ditengah malfungsi aparat pemerintahan disana. dalam mendukung tercapainya sebuah peradaban "lokal" yang menyimpan kearifan-kearifan tertentu.
Memasuki usia satu dasawarsa, dapat menjadi alarm penting tentang seberapa mampu Samosir sebagai daerah otonom baru menunjukan kapasitas pribadinya, dibandingkan dengan pendahulunya. Kabupaten Samosir, yang didominasi oleh perbukitan-perbukitan yang menjulang indah -- dihiasi oleh danau terbesar se-Indonesia sudah selayaknya menjadi salah satu kehormatan terbesar dalam mengembangkan wilayahnya. Tak heran jika semboyan Samosir, yaitu " Negeri Indah Kepingan Surga" terejawantah sebagai simbol bagi pesona identitas alamnya. Sebuah daerah yang diproyeksikan sebagai destinasi wisata dunia dengan Geopark Kalder Tobanya tentu saja perlu memiliki berbagai kualifikasi-kualifikasi yang baik dalam mengelola wilayahnya. Hal inilah yang menjadi urgensi bagi sebuah daerah jika berkeinginan untuk maju dan memasuki tahap landas, sebagaimana WW Rostow katakan dalam tesis pembangunannya.
Pembangunan sosial merupakan strategi yang dimainkan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Terminologi pembangunan sosial muncul sebagai respon atas ketidakmampuan pertumbuhan ekonomi, yang digagas oleh ekonom klasik, Adam Smith dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara kerja pembangunan sosial sebenarnya berusaha sedemikian rupa untuk memberdayakan masyarakat yang ada. Dalam artian, masyarakat disini direkayasa untuk membuat diri mereka mandiri dan tidak bergantung dengan pihak-pihak tertentu, seperti korporasi ataupun negara. Teori pembangunan sosial merupakan teori yang diperkenalkan untuk mengangkat diskursus mengenai pentingnya membangun masyarakat sipil, diantara relasi dengan pasar dan negara. Dalam tulisan yang singkat ini, akan dibahas bagaimana pembangunan sosial sebaiknya dibangun di tanah Samosir, dengan menempatkan Desa Sianjur Mula-Mula sebagai daerah representasi tertinggalnya. Adapun analisis mengenai apa yang menjadi program dalam pembangunan sosial di tanah Batak ini adalah analisis kebangkitan masyarakat sipil (civil society).
Ide Gagasan
Setiap masyarakat memiliki struktur sosial yang khas. Hal ini juga berlaku dengan masyarakat Batak di Desa Sianjur Mula-Mula. Mereka memiliki karakteristik yang menjadikannya berbeda dengan etnis lain di Indonesia. Meskipun secara administratif, memiliki kesamaan yang lain, seperti terdapatnya desa, kecamatan, hingga kabupaten, masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Sianjur Mula-Mula, memiliki beberapa tingkatan dalam pemukiman mereka, antara lain (1) Lumban; (2) Sosor; dan (3) Huta. Pertama, lumban adalah sekelompok orang yang tinggal dalam beberapa deret rumah, yang umumnya masih dalam satu keturunan. Kedua, sosor adalah sekelompok rumah, yang umumnya berada dalam satu keluarga besar bermarga sama. Sedangkan, huta adalah sekelompok rumah, yang biasanya terdiri dari banyak rumah (6-10 rumah) yang ditinggali beberapa keluarga dengan marga yang berbeda. Perlu Anda ketahui, bahwa tingkatan pemukiman di masyarakat Batak Toba memiliki fungsi sosial yang penting dalam menjaga kekerabatan mereka sendiri. Dikarenakan pentingnya tingkatan pemukian tersebutlah, maka menjadi sarana efektif untuk dapat melaksanakan pembangunan sosial secara menyeluruh. Pada akhirnya, program Huta Mandiri menjadi gerbang bagi setiap sikap mandiri sekelompok warga masyarakat, yang berawal dari lingkungan ketetanggaan mereka.
Analisis
Berbicara mengenai pembangunan sosial, tak lain adalah berbicara mengenai upaya melakukan pemberdayaan masyarakat secara efektif dan tepat sasaran. Program Huta Mandiri merupakan program yang dapat direncanakan sebagai alternatif bagi ketidakefektifan program pemberdayaan melalui pemerintahan desa. Beberapa temuan terhadap ketidakefektifan desa dalam memberdayakan masyarakat, antara lain (1) daya cakupan desa yang hanya berpusat pada infrastruktur, seperti penggunaan Dana Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang hanya digunakan untuk membangun jembatan penghubung yang sederhana; dan (2) cakupan anggaran yang relatif kecil, karena harus dialokasikan terhadap permasalahan yang benar-benar urgen dan biasanya sangat politis. Memperhitungkan alasan demikian, upaya untuk melakukan pembangunan sosial, yakni melalui agensi dari masyarakat sipilnya sendiri menjadi kabar baik, tentu saja demi percepatan pembangunan desa secara keseluruhan. Oleh karena itu, huta sebagai tingkatan pemukiman tertinggi di sebuah desa di masyarakat Batak Toba menjadi pilihan yang cukup strategis.
Huta merupakan salah satu alternatif bagi pembangunan sosial secara menyeluruh, terutama bagi masyarakat Samosir. Fungsi huta sebagai lokus masyarakat dengan tingkat kedekatan yang tinggi, menjadikan setiap upaya untuk mengoptimalkan keberadaannya menjadi bermakna. Selain itu, kehidupan warga masyarakat yang diikat dengan adat-istiadat tertentu menjadikan huta sebagai alasan mengapa program pembangunan sosial seharusnya bermula. Beberapa alasan yang menjadikannya sebagai strategi pembangunan sosial yang mengakar, antara lain sebagai berikut.
Pertama, masing-masing huta biasanya memiliki ketua adat, yang menjadi tokoh masyarakat setempat. Di dalam masyarakat yang masih menganut adat secara kuat, sebagaimana yang dialami masyarakat Batak Toba di Sianjur Mula-Mula, ketua adat (penatua) memegang peranan penting dalam menjembatani kepentingan warga dengan pemerintah setempat. Di dalam masyarakat Batak Toba, dikenal Raja Bius. Raja Bius tak lain merupakan tokoh adat yang disegani oleh masyarakat setempat. Uniknya, pendapat atapun petuah seorang Raja Bius biasanya jauh lebih didengar daripada kepala desa. Oleh karena itu, dengan melibatkan raja bius dalam upaya pembangunan sosial menjadikan peluang untuk munculnya kemauan dan kesadaran dari warga masyarakat dapat terwujud.
Kedua, masing-masing huta memiliki kearifan lokalnya (local wisdom) masing-masing. Kearifan lokal yang masih terjaga, antara lain (1) melestarikan tradisi nenek moyang; (2) menjaga ucapan dan tindakan; serta (3) menjaga kekayaan alam yang tersedia bagi mereka. Kuatnya pengaruh adat yang tercermin dalam kearifan lokal, tentu saja berbanding lurus dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, yang menekankan harmoni diantara manusia dan alam. Sehingga, pemberdayaan masing-masing huta akan berimplikasi secara tidak langsung terhadap upaya untuk menjaga keseimbangan alam. Itulah mengapa, mereka berusaha mempertanyakan kembali daerah pariwisata yang menjadi proyeksi pemerintah Samosir kedepannya. Mereka khawatir jika program wisata hanya akan menimbulkan kerusakan terhadap alam dan tatanan sosial yang ada. Oleh karenanya, asosiasi masyarakat setempat yang tergabung dalam Forum Generasi Muda Batak (FGMB), menginginkan transformasi pariwisata yang ada, yaitu pariwisata berbasis kekayaan alam dengan berbagai situs geologinya menjadi pariwisata berbasis kebudayaan.[1]Singkatnya, pergeseran paradigma pariwisata Samosir yang menyelaraskan ketiga unsure, yaitu manusia, alam dan kebudayaan sesuai dengan istilah pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Bruntland Report dari PBB sebagai proses pembangunan yang mencakup tidak hanya wilayah (lahan,kota) tetapi juga semua unsur, bisnis,masyarakat, dan sebagainya yag berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.[2]