Syukurilah dan jangan bersedih hati !
Tersebutlah satu kisah antara seorang raja dan penasehat pribadinya. Ini hanyalah sebuah illustrasi dan penyejuk bagi hati yang tengah gundah kulana. Jangan bersedih, syukurilah karena di balik semua peristiwa ada pelajaran, dinamika, cinta dan kasih sayangNya. Itulah Hikmah.
*******************************
RAJA DAN PENASEHAT PRIBADINYA
Oleh : Andi Surya Amal
Alkisah, di sebuah negeri yang damai hiduplah sekelompok masyarakat yang dipimpim oleh seorang raja yang usianya masih cukup muda. Ia adalah pewaris tahta kerajaan dari mendiang ayahnya yang cukup tersohor, disegani, dan dicintai. Itu pula sebabnya kehadiran raja muda masih mendapat tempat di hati abdi dan seluruh rakyat kerajaan sebagai wujud penghormatan terhadap mendiang sang ayah.
Sang raja memang masih cukup muda, tampan, terampil dalam memanah, dan amat gemar berburu. Menyadari usianya masih cukup muda sang raja merasa perlu mengangkat seorang penasehat yang akan mendampinginya, terutama dalam menjalankan roda pemerintahan.
Raja tentu tak ingin ceroboh, maka diangkatnya seorang abdi kerajaan sebagai penasehat pribadi. Ia adalah Labeddu. Seorang abdi yang juga telah mengajari raja sejak kecilnya dalam memanah dan berburu. Kebiasaan itu menjadi kegemaran raja yang tak dapat ditinggalkannya, bahkan hingga saat-saat memegang tampuk kerajaan. Hanya Labedu yang kerap menyertainya dalam berburu. Labeddu yang kini menjadi penasehat pribadi raja. Sang raja tak pernah menyertakan para pengawal istana di setiap kesempatan berburu. Dimanfaatkannya saat-saat berburu lepas sementara dari kepenatan formalitas istana yang sehari-hari dijalaninya.
Hingga suatu saat menjelang fajar. Raja menunggangi kuda miliknya menuju hutan untuk berburu. Labedduturutmenyertainya sebagaimana saat-saat sebelumnya. Dua ekor kuda berpacu dengan kencangnya menuju hutan dimana sang raja biasanya berburu. Kuda-kuda itu berlari menembus fajar.
Waktu berjalan begitu cepat ketika sebuah kecelakaan menimpa sang raja. Kaki kuda yang ditungganginya terperosot ke dalam parit ketika baru saja memasuki hutan. Raja terpental dari kuda yang ditungganginya. Hanya hitungan detik ketika salah satu jari tangannya tersayat benda tajam. Raja tidak menyadari ketika pedang di pinggangnya ikut terpental dari sarungannya. Mata pedang itu bersenggolan dengan salah satu jari tangan kanannya. Sungguh naas. Dua ruas jari telunjuk pada tangan kanan sang raja tertebas benda yang sangat tajam itu.
Labeddu bergegas memacu kudanya menghampiri raja yang dijunjungnya. Labeddu panik bukan kepalang. Raja baru saja menyadari kalau ia telah kehilangan dua ruas jari tangannya. Bak anak kecil ia pun menangis sejadi-jadinya Labeddu berusaha menghibur sang raja. Raja pun tak urung dari kesedihannya. Labeddu tak putus asa. Ia terus berusaha menenangkan hati sang raja.
“Labeddu, Aku menangis bukan karena nyeri yang tak tertahankan. Bukankah engkau dapat melihat kalau aku telah kehilangan dua ruas jari telunjukku ?”, ujar sang raja tiba-tiba.
“Tuanku yang mulia, junjungan seluruh rakyat kerajaan. Mohonkan ampun atas kelancangan hamba. Tapi kesedihan tidak akan mampu mengembalikan dua ruas jari telunjuk Paduka yang terpotong itu. Hanyalah ungkapan rasa syukur yang dapat mengobati duka lara Paduka saat ini”, ujar Labeddu tanpa ragu-ragu.
Sang raja terkejut mendengar nasehat Labeddu. Manalah mungkin Labeddu menyuruhnya bersyukur di saat jari jemarinya tak lagi utuh. Emosi muda sang raja membuncah tiba-tiba. Raja benar-benar berang, karena merasa Labeddu telah mengolok-olok dirinya.
Konon, raja menimpakan hukukan penjara atas kelancangan Labeddu. Bukan hanya karena itu, tapi raja juga termakan hasutan dari beberapa pejabat kerajaan. Kejadian yang menimpa raja dibuat seolah-olah menjadi kelalaian Labeddu yang gagal menjaga keselamatan sang raja. Panglima hulubalanglah yang agaknya berdiri di balik semua ini. Sebagai seorang abdi yang setia, Labeddu pun ikhlas menerima titah sang raja.
Waktu terus berlalu. Labeddu telah menjalani hari-harinya dalam penjara istana. Ia tak lagi punya kesempatan mendampingi sang raja yang dijunjungnya. Nasib telah membawanya ke balik tali jeruji atas kesalahpahaman sang raja. Andai saja sang raja mampu menangkap pesan mulia dari nasehatLabeddu ketika itu, atau mampu menimang dengan bijak usul beberapa pejabat kerajaan, maka tentulah nasib berbicara lain. Tapi Labeddu percaya bahwa tentulah Tuhan punya rencana lain atasnya.
Seiring berjalannya waktu riak-riak kecil pun muncul dari dalam istana. Panglima hulubalang istana yang bernama Langoa secara diam-diam menyusun rencana jahat atas diri sang raja. Ia tengah menyusun siasat merebut mahkota kerajaan. Di saat sang raja sedang mencari penasehat pribadinya untuk menggantikan Labeddu, maka Langoa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan berbagai cara Langoa berusaha mencuri hati sang raja.
Langoa memang cerdik dan sangat licik. Ia berhasil menarik perhatian sang raja. Langoa akhirnya menduduki jabatan barunya sebagai penasehat pribadi sang raja menggantikan Labeddu yang tengah mendekam dalam penjara istana. Raja sama sekali tidak mencium gelagat yang mencurigakan dari Langoa. Di saat-saat sang raja bermurumdurja Langoa selalu hadir menghibur. Hingga akhirnya Langoa berhasil menangkap kegalauan hati sang raja.
“Paduka yang mulia, mohon ampun atas kelancangan hamba”. Langoa kemudian memberi isyarat penghormatan kepada sang raja sebelum melanjutkan, “kalau hamba boleh tahu, hal apa gerangan yang Paduka fikirkan ?”. Raja tertegun sesaat.
“Langoa, aku rupanya tidak salah memilihmu sebagai penasehat pribadiku. Ketahuilah kalau aku amat gemar berburu, dan sudah dua bulan lamanya aku tidak menikmati saat-saat itu. Aku memang sedikit trauma dengan peristiwa yang menimpaku beberapa waktu yang lalu”, ujar sang raja kepada Langoa.
“Paduka yang mulia, bukankah saat ini Paduka telah memiliki seorang penasehat yang setia mendampingi. Kupersembahkan jiwa raga hamba untuk menjaga dan melindungi Paduka”, bujuk Langoa kepada sang raja. Gayung bersambut. Raja pun menyanggupi.
“Baiklah, esok hari menjelang fajar engkau sudah harus mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi satu hal, aku tidak ingin seorang pun pengawal istana turut serta”, ujar sang raja kepada Langoa.
Langoa kemudian memberi isyarat penghormatan sebelum berlalu dari hadapan sang raja. Inilah saat-saat yang dinanti Langoa. Saat-saat menemani sang raja berburu ke dalam hutan. Agaknya Langoa telah menyusun rencana jahat untuk melenyapkan sang raja. Bukankah misalnya ia dapat saja berdalih kalau sang rajaditerkam binatang buas ? Hampir semalaman Langoa tak dapat memejamkan mata menanti saat menjelang fajar.
Saat itu pun tiba. Pagi menjelang fajar, raja memacu kudanya dengan kencang memasuki hutan. Langoa mengiringi. Entah apa yang dipikirkan sang raja sehingga kudanya dipacu sedemikian kencangnnya jauh memasuki hutan. Langoa terus mengiringi.
Hingga akhirnya sang raja tidak menyadari kalau ia terlalu jauh memasuki hutan belantara. Di sebuah hutan yang kebetulan dihuni sekelompok manusia primitif. Ia baru menyadari setelah kudanya dicegat oleh sekelompok orang. Agaknya mereka benar-benar terperangkap. Orang-orang itu telah mengepungnya dari berbagai arah. Raja dan Langoa sama sekali tidak berdaya menghadapi mereka yang jumlahnya cukup banyak. Apatah lagi masing-masing dari mereka memegang senjata tradisional semisal tombak dan panah. Raja dan Langoa menyerah tak berdaya.
Salah seorang dari sekelompok manusia primitif itu menghampiri raja dan Langoa. Agaknya orang itu adalah kepala suku. Dia kemudian memerintahkan agar keduanya dimasukkan ke dalam kerangkeng, semacam rumah tahanan.
Malam pun tiba. Kebetulan purnama. Sebuah pesta suku nampak akan digelar malam itu. Mereka membakar api unggun tak jauh dari kerangkeng raja dan Langoa. Mereka menari-nari dengan tombak mengelilingi api unggun. Rupanya ada pesta persembahan malam itu.
Jantung sang raja berdebar kencang, begitu juga dengan Langoa ketika kepala suku menghampirinya. Ia mengamati keduanya, raja dan Langoa, sebelum kemudian ia memerintahkan beberapa orang menggiring sang raja keluar dari kerangkeng. Agaknya kepala suku memilih sang raja sebagai manusia persembahan di malam yang mencekam itu. Raja memang cukup tampan dan muda.
Sesaat sebelum pesta dimulai sesorang dari mereka memeriksa bagian-bagian tubuh sang raja. Ia nampak terkejut melihat jari tangan sang raja nampak cacat. Raja memang telah kehilangan dua ruasjari telunjuk kanannya. Orang itu bergegas menghampiri sang kepala suku seperti mengatakan sesuatu. Sang raja nampaknya tidak memenuhi syarat untuk menjadi manusia persembahan malam itu. Raja akhirnya dibebaskan dan dibiarkan berlalu bersama kuda tunggangannya. Langoa menjerit ketakutan.
Satu episiode menegangkan terlewati dari hadapan sang raja. Raja pun memacu kudanya di tengah hutan belantara. Ia sempat kesulitan menemukan jalan pulang. Matahari sudah naik sepenggalan ketika sang raja menghampiri gerbang istana kerajaannya. Pengawal-pengawal istana bergegas menyambut sang raja. Sang raja tergopoh-gopoh melompat dari kudanya, dan berlalu menuju ruang penjara istana. Dua orang pengawal mengiringi sang raja. Agaknya sang raja hendak menamui Labeddu, mantan penasehat pribadinya. Labeddu nampak terkejut melihat kedatangan sang raja.
“Ada hal apa gerangan”, fikir Labeddu.
Labeddu lebih terkejut lagi ketika raja serta merta memeluknya. Labeddu bisa merasakan detak keharuan dari degup jantung sang raja. Air mata penyesalan meleleh membasahi pipinya.
“Labeddu, sudikah engkau memaafkan aku ?”,pinta sang raja tiba-tiba.
“Paduka yang mulia, tidaklah pantas Paduka meminta maaf pada hamba. Hamba sudah ikhlas menerima titah Paduka”, ujar Labeddu pada sang raja. Raja kemudian menceriterakan hal ikhwal yang baru saja menimpanya. Labeddu tertegun mendengarnya.
“Aku benar-benar baru menyadari. Mengapa engkau menyuruhku mengucap syukur di saat aku telah kehilangan dua ruas jari tanganku. Tuhan baru saja menyelamatkan jiwaku karena dua ruas jari tanganku yang hilang itu”, kata sang raja dengan lirih.
“Tapi Paduka, bagaimana dengan nasib Langoa?”, tanya Labeddu kemudian.
“Itulah yang terjadi. Aku benar-benar tidak dapat menolong jiwa Langoa. Dialah yang menggantikan aku sebagai manusia persembahan bagi orang-orang primitif malam itu”, ungkap sang raja.
Seketika Labeddu berlutut di hadapan sang raja. Air mata keharuan berlinang membasahi pipinya. Ia membayangkan andai saja dirinyalah dalam posisi yang dialami Langoa. Langoa yang telah menggantikannya sebagai penasehat pribadi raja.
Tanpa mengurangi rasa duka cita terhadap apa yang menimpa Langoa, ungkapan rasa syukur meluncur dari mulut Labeddu, “Paduka yang mulia, hamba menghaturkan terima kasih atas keputusan Paduka memenjarakan hamba. Jika sekiranya Paduka memaafkan hamba ketika itu, maka bukan tidak mungkin hambalah yang mengalami nasib sebagaimana yang telah dialami Langoa. Menjadi manusia persembahan dari orang-orang primitif itu. Tuhan baru saja menyelamatkan jiwa hamba dalam penjara Paduka”.
Subehanallah. Dalam hati yang bersih akan selalu ada ruang untuk mengucap kata syukur. (@ Andi Surya Amal, ditulis di Makassar, ketika itu 21 Desember 2007)
******************************
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H