Catatan kecil ini ditulis oleh ayah saya Syahrir Hakim dan dipublikasikan pada SELASA, 11 JANUARI 2011 di Harian Parepos. Tulisan ini sengaja saya muat kembali berharap tidak ada lagi orang yang bernasib sama dengan Almarhumah Andi Suciana Novyamsyah adik saya. Berharap dengan tulisan ini ada perbaikan kepada seluruh pelayanan publik terutama pelayanan kesehatan dikala Libur panjang.
Menyusul peningkatan status dari tipe C ke tipe B, manajemen RSUD Andi Makkasau Parepare terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan dan fasilitas pendukung medis. Sepenggal berita di atas, saya petik dari website Pemkot Parepare dalam rubrik Kesehatan.
Saya akui dan saya rasakan itu. Tetapi satu hal yang mungkin bisa lebih disempurnakan ke depan, yaitu kehadiran dokter di rumah sakit pada hari libur. Menurut hemat saya, ketidakhadiran dokter di hari libur apalagi berturut-turut dua hari, akan berakibat fatal bagi pasien. Itu yang dialami putri saya, Andi Suciana Novyamsyah, dua pekan lalu. Putri saya masuk UGD RSU Andi Makkasau, Jumat, 24 Desember 2010, sekitar pukul 17.30 Wita. Setelah ditangani dokter jaga, putri saya dibawa ke bangsal Anggrek dalam kondisi panas yang tinggi dan sesak. Esoknya, Sabtu 25 Desember 2010 bertepatan Hari Natal, esoknya lagi, Ahad 26 Desember 2010. Kedua hari tersebut adalah hari libur, praktis dua hari dua malam, putri saya tidak pernah mendapat sentuhan tangan dokter. Hingga Senin, 27 Desember 2010, sekitar pukul 05.30 Wita, Andi Suciana Novyamsyah (24 tahun) menghembuskan nafas terakhir. Putri saya berpulang ke rahmatullah dalam keadaan hamil 6 bulan. Inna lillahi Wainna lillahi Rojiun, putri saya dipanggil Sang Pencipta-Nya. Selamat jalan anakku, sudah takdirmu........! Kami sekeluarga pun ikhlas melepas kepergiannya menghadap Sang Khalik. Dan insyaallah kami tetap bersabar serta tabah menerima ujian dari Allah SWT. Di saat keluarga kami dirundung duka yang amat dalam, saya tetap bertanya dalam hati kecil, apakah memang pada hari libur tidak ada dokter jaga yang khusus memeriksa pasien di bangsal? Padahal, di hari libur pun, pasien tentu merindukan kehadiran seorang dokter. Rindu pasien terhadap dokter yang sehari-hari nampak begitu elegan. Mengenakan jas putih bersih, stetoskop yang jarang lepas dari lehernya. Berjalan mengunjungi pasien dari bangsal yang satu ke bangsal lainnya. Sang dokter pun menyapa pasien dengan ramah, memeriksa, dan memberikan pengobatan. Sesekali sang dokter tertawa dan bercanda dengan pasien. Sang dokter didampingi sejumlah perawat, dengan map dan buku resep di tangan, perawat mencatat setiap perintah dokter. Tetapi begitulah kenyataannya, selama dua hari dengan sabar mendampingi putri saya, tidak seorang dokter yang datang melihat, menyapa, tersenyum, ataupun bercanda. Kami sekeluarga pun maklum, kalau dokter perlu istirahat, karena dokter juga manusia. Tetapi perlu diingat bahwa, penyakit tak pernah libur. Penyakit tak pernah istirahat, dokter! Beberapa hari lalu, saya sempat konfirmasikan hal ini dengan Direktur RSU Andi Makkasau, dr Hj Andi Besse Dewagong melalui telepon. Direktur mengakui jika dokter libur dalam dua hari itu, tetapi ada dokter jaga yang siap 1 x 24 jam di UGD. Kata saya, itu di UGD. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau di UGD ada dokter jaga. Tetapi yang saya maksudkan dokter yang sesekali mengontrol di bangsal. Lantas, Andi Besse mengatakan, memang dokter jaga tidak bisa mengontrol semua pasien rawat inap di RSU A Makkasau. Tetapi ada dokter yang mengontrol bangsal. Saya pun langsung mengoreksi ucapan tersebut. Setelah putri saya terbaring di bangsal Anggrek Jumat malam 24 Desember 2010 hingga Senin, 27 Desember 2010 pukul 05.30, saya tidak pernah melihat seorang dokter masuk ke bangsal tersebut. Dengan musibah yang menimpa keluarga saya ini, saya pun berharap dan mengingatkan pihak manajemen RSU A Makkasau agar ke depan tidak ada lagi pasien yang mengalami nasib seperti Andi Suciana. Memang, bangsal tak pernah sepi dengan layanan perawat, baik yang datang memasang cairan maupun mengantarkan obat. Tetapi bagaimana pun kondisi pasien, kalau melihat dokter, semuanya akan terasa lain. Ada rasa adem bagi pasien dan keluarga. Satu lagi yang terasa janggal di UGD. Saking paniknya kami sekeluarga, sampai-sampai berkas kelengkapan administrasi belum sempat dibawa sore itu. Saya janjikan besok pagi akan saya penuhi. Tetapi seorang perawat perempuan yang tugas sore itu, mendesak dan meminta uang jaminan dan harga obat sebesar Rp100.000. Apa betul uang jaminan diberlakukan di UGD? Padahal di dalam Visi Misi BPK RSU Andi Makkasau tentang kewajiban RS pada poin 5 yang pernah saya baca bahwa, RS wajib memberikan pertolongan di UGD tanpa meminta materi terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H