Kartun klasik Looney Tunes menampilkan karakter ikonik Wile E Coyote yang tak henti mengejar Road Runner. Coyote terus berlari hingga berjalan di udara menjauh dari tebing. Saat berhenti sekejap di udara dan menyadari situasinya, ia melihat ke bawah dan lalu terjatuh ke dasar ngarai.
Penggunaan metafora ini dalam ekonomi bukan datang dari orang sembarangan. Paul Krugman, penerima Nobel Ekonomi 2008, adalah yang pertama kali membuat hubungan momen Coyote dengan bencana ekonomi. Istilah itu kembali digunakan oleh Ben Bernanke, mantan ketua Fed dan penerima Nobel Ekonomi 2022--- yang menggunakan metafora tersebut untuk mencoba menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat (AS) akan menghadapi penurunan yang semakin nyata. Baru-baru ini, mantan Menteri Keuangan AS, Lawrence H. Summers, menekankan bahwa kuatnya pasar tenaga kerja dan inflasi yang menunjukkan tanda-tanda memudar semestinya membuat otoritas tak tidur nyenyak. Setidaknya, likuiditas konsumen, pemotongan biaya bisnis, dan meningkatnya tekanan geopolitik sebagai pemicu kejatuhan ekonomi tiba-tiba masih menjadi perhatian Summers. Ekonom sekaliber ini tentu sulit untuk salah. Runtuhnya tiga bank di AS dan timbul masalah perbankan di Eropa merupakan bukti bahwa tak seorang pun mengetahui situasi hari-hari ini dengan pasti.
Di tengah kegelapan dan badai sempurna ekonomi global, Indonesia muncul digadang-gadang sebagai "titik terang". Pertumbuhan ekonomi 5,31% year-on-year (yoy) yang solid pada tahun 2022 dan prospek cerah telah mengarah pada optimisme tahun ini. Bukan tanpa alasan, selama 34 bulan berturut-turut, neraca perdagangan berada di wilayah surplus. Inflasi rendah, pasar tenaga kerja yang ketat, dan manufaktur yang ekspansif secara konsisten juga memberikan sentuhan manis pada prospek yang cemerlang.
Meskipun ekonomi domestik tampak sangat kuat, titik buta dalam dark zone ekonomi global itu selalu ada mengintai. Bila salah melangkah, bisa jadi memijak pada tanah yang tak solid lagi. Seperti yang disebutkan oleh tiga ekonom ajaib di atas, "momen Coyote" bisa menimpa. Keretakan di pasar tenaga kerja dan situasi konsumen sangat mungkin menarik ekonomi ke bawah tanpa peringatan sebelumnya.
Pijakan Tak Selalu Solid
Tampaknya tidak masuk akal untuk mengatakan bahwa pesta akan segera berakhir tanpa peringatan sebelumnya. Pasar tenaga kerja kuat, inflasi landai, penjualan ritel meningkat, dan lonjakan harga komoditas terus berlanjut. Itulah mengapa kebanyakan orang akan membaca lebih banyak tentang kekuatan ekonomi saat ini daripada tanda-tanda kecil yang mengkhawatirkan.
Logika pengamatan semacam ini dalam analisis tren ekonomi justru menerapkan hukum yang diperkenalkan oleh Herbert Stein pada tahun 1986, "if something cannot go on forever, it will stop". Tentu tidak ada salahnya mengantisipasi dengan menerapkan Hukum Stein pada tren neraca perdagangan. Pada Februari 2023, neraca perdagangan mencetak surplus US$5,48 miliar. Artinya, selama 34 bulan berturut-turut, neraca perdagangan mengalami surplus yang ditopang oleh melonjaknya harga komoditas.
Namun, surplus diperoleh dari sektor nonmigas sebesar US$ 6,70 miliar dan defisit sektor migas sebesar US$ 1,22 miliar. Dibandingkan bulan sebelumnya, nilai ekspor turun 4,15% karena melemahnya ekspor migas sebesar 20,26 persen dan ekspor nonmigas sebesar 3,00%. Penurunan harga komoditas global menjadi penyebab, di antaranya batu bara--- sang primadona---turun 34,75% dan nikel 5,20% secara bulanan. Surplus tersebut juga ditopang oleh China yang mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 42,02% yoy dari Januari hingga Februari 2023. Hanya saja, perlu disadari bahwa sisi suplai batu bara yang selama ini menguntungkan ekspor mulai menghadapi tantangan karena Australia telah memperbaiki gangguan distribusi yang menyebabkan harganya melambung tinggi. Sementara untuk komoditas utama lainnya, harga CPO akan sangat bergantung pada sisi permintaan, terutama dari China dan India. Saat ini, normalisasi harga komoditas berada dalam tren menurun dan berlangsung cukup cepat. Saat harga komoditas tak lagi membara, ada potensi merana.
Normalisasi harga komoditas itu akan menimbulkan risiko pada konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar produk domestik bruto (PDB). Tak hanya itu, penguatan konsumsi pun semakin terjal yang dibangun oleh lonjakan inflasi. Dengan mengecualikan periode krisis, inflasi nasional selalu terjaga di bawah target Bank Indonesia (BI) 3,0 + 1%. Kini, tekanan harga konsumen melonjak dari 1,68% yoy pada pertengahan 2020 menjadi 5,41% pada Februari 2023. Meski inflasi inti terkendali di 3,09%, belum diketahui pasti seberapa besar lagging effect inflasi harga produsen yang mungkin segera ditransmisikan ke inflasi konsumen.
Inflasi bisa menjadi persisten. Begitu datang, BI akan berada dalam dilema. Saat ini BI memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga lagi karena dinilai cukup untuk menopang inflasi dan ekspektasi inflasi. Namun di sisi lain, agresivitas bank sentral di negara maju bisa membuat BI berbalik arah dan memiliki masalah dengan kredibilitasnya di pasar. Keputusan tersebut sangat mungkin memicu imported inflation. Pasalnya, stabilitas nilai tukar rupiah membawa konsekuensi di tengah prosesi kenaikan suku bunga di negara-negara maju, terutama AS dan Eropa. Rupiah sendiri tampaknya nyaman di kisaran di atas Rp. 15.000 terhadap greenback. Sementara itu, kredibilitas BI terkait pesan yang disampaikan ke pasar berkelindan dengan risiko menipisnya selisih imbal hasil (yield) dan meningkatnya capital outflows. Perlu diingat, BI saat ini menggunakan 7-days reverse repo rate yang lebih bersifat transaksional ketimbang BI rate yang menunjukkan stance kebijakan moneter sebagai bagian dari suku bunga operasi moneter (term structure). Di sini mungkin ada isu sensitivitas suku bunga dengan pengendalian inflasi yang tampaknya kurang sensitif.
Kondisi global yang belum sepenuhnya pulih dan penuh ketidakpastian juga telah menimbulkan crack di pasar tenaga kerja. Fenomena badai PHK masih berlangsung dari sektor start-up hingga manufaktur. Jika merujuk catatan BPJS Ketenagakerjaan, sekitar 919.000 pekerja mencabut jaminan hari tua (JHT). Sedikit banyak, sektor ketenagakerjaan akan dipengaruhi oleh kinerja ekonomi global. Selain itu, tingkat pengangguran kelompok usia 15-19 tahun secara konsisten berada di atas 26-29% dan kelompok usia 20-24 tahun stabil di kisaran 13-19%. Cukup jauh dari rata-rata nasional yang selalu berada di kisaran 5-7%.