Lihat ke Halaman Asli

Andi Suryadi

Investment Alchemist

Kapital Sosial Sebagai Jalan Mitigasi Pandemi

Diperbarui: 28 Juni 2021   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebih dari setahun sudah pandemi Covid-19 membelenggu segala lini kehidupan bangsa ini. Kian hari, jumlah kasus belum bisa dikatakan terkendali, bahkan dengan dimulainya vaksinasi. Masyarakat kian gerah, stimulus sana-sini pun terus tercurah dan perdebatan selalu mengetengah. Sebenarnya, apa yang salah dengan cara kita menangani pandemi yang turut meluruhkan status quo dalam tatanan ekonomi dan sosial. Rasa-rasanya pandemi ini bukan lagi menjadi saat yang tepat untuk saling menghambat dan berseberangan dalam upaya mitigasinya. Bila masih demikian, sebuah pertanyaan mendasar menyeruak, masihkah kita memiliki imajinasi yang sama terkait kondisi melampaui pandemi?

Sejauh kehidupan kita, semua sepakat untuk membaca, menulis dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, tampaknya begitu sulit bekerja sama untuk menerapkan protokol kesehatan, saling jaga dan mendukung di tengah pandemi yang kian pelik. Masyarakat pasar yang biasa terkoordinasi tanpa koordinator mengalami kesulitan untuk menguatkan soliditas dan solidaritas dalam hal mitigasi krisis. 

Padahal, seruan untuk bersama-sama sebagai komunitas sudah diungkapkan presiden Joko Widodo dalam pembukaan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bukan hanya presiden, seruan senada pun datang dari pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, Paus Fransiskus. Keduanya meyakini bahwa pandemi hanya mungkin diatasi dengan kebersamaan, bukan individualisme atau pun ego-sektoral.

Dignitas Bangsa

Mendarah dagingnya keegoisan dalam komunitas memang tidak dapat dipungkiri sebagai implikasi gagasan neoliberal yang mengakar. Masyarakat sudah terbiasa dengan kompetisi. Bahkan, sistem pendidikan pun tidak bisa dikesampingkan turut membentuk hal tersebut. Pilunya, soal winner dan loser acapkali muncul dari mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump kala masih menjabat dan menangani pandemi. Diskursus kompetisi yang mengakar rupa-rupanya tanpa disadari telah membuat kita cenderung hidup dalam kejenuhan akibat pandemi berlarut-larut.

Potret realitas demikian bersumber dari ketidakmampuan memahami konsep pembangunan manusia secara komprehensif. Selama ini, strategi pembangunan manusia cenderung pada pendekatan komoditas. Dengan keberadaan seperangkat komoditas tertentu, individu telah dianggap mampu mencapai kesejahteraannya. Memang tidak semua, tapi kecenderungannya sistem hari-hari ini lupa betapa pentingnya memberikan intervensi pada cara individu berfungsi mencapai kesejahteraannya sendiri. Tentu sistem ini butuh direfleksikan dan ditinjau kembali penerapannya sejauh lama berlangsung.

 Terlepas dari adanya celah dalam sistem pendidikan, hal penting lainnya terkait dengan refleksi cara hidup. Pandemi yang berlarut-larut ini semestinya menjadi titik balik kualitas dignitas dalam segala aspek, termasuk cara hidup bersama dan politik. Daripada mengetengahkan kepentingan konstelasi, masa-masa sulit ini lebih tepat digunakan untuk mengelaborasi koordinasi yang tersentralisasi dan pengaturan bersama (mutual adjusment). 

Pengaturan bersama mutlak dibutuhkan mengingat bukan hanya angka kesehatan masyarakat yang diambang krisis, melainkan juga mesin pertumbuhan ekonomi terus mengalami perlambatan. Implikasinya, bukan hanya garis kemiskinan yang terus meningkat, melainkan juga 26,42 juta orang masuk ke dalam kategori miskin pada Maret 2020 atau mengalami kenaikan sebesar 0,37 persen dibanding Maret 2019. Lalu, apabila meninjau lebih jauh, data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa gini ratio pada periode yang sama hanya mampu turun sebesar 0,001 poin.

Kedua angka tersebut setidaknya penting menjadi pengingat dan bahan refleksi bagi setiap kita untuk dapat mengambil peran dengan saling menjaga. Masa ini memang tidak mudah, kejenuhan telah memuncak, pun dengan kekhawatiran. Momentum pandemi seyogyanya menjadi titik balik untuk kembali pada nilai-nilai luhur bangsa. Nilai-nilai yang sungguh menunjukkan jati diri bangsa kokoh dan saling peduli, terutama pada kelas bawah yang paling terpukul. 

Pada konteks ini, Pancasila sebagai ideologi perlu ditengahkan. Memahaminya harus sampai pada titik yang membangun kesadaran bahwa tanggung jawab bersama mengatasi pageblug dengan solidaritas dan soliditas. Pada akhirnya, apabila ini berhasil, masyarakat menunjukkan bahwa nilai-nilai yang menjadi pengikat cara hidup bersama sungguh dapat menciptakan kualitas institusi informal lebih ekstraktif.   




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline