Lihat ke Halaman Asli

Andi Suryadi

Investment Alchemist

Self-Criticism Tajamkan Analisis Sosial

Diperbarui: 11 April 2019   11:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sebagian besar orang tidak dapat melihat suatu permasalahan atau isu yang berkembang di dalam masyarakat sebagai masalah sosial. Kacamata sosiologis yang menembus dinding kewajaran (as usual) pada hakikatnya mampu menemukan kompleksitas fakta sistemik. Setidaknya, lapisan sesuatu yang tampak di permukaan memiliki dimensi historis, strukturalis dan fungsionalis hingga berkembang menjadi sebuah fenomena dalam kehidupan masyarakat. Ketiga dimensi itu melandasi ketajaman Analisa atas sebuah fenomena yang berkembang.

Mesipun demikian, realitas lapangan dalam melakukan analisis sosial harus mampu menanggalkan dominasi unsur-unsur subyektivitas. Dengan lain kata, melakukan assessment (penilaian) terhadap sesuatu tentu harus berlandaskan obyektivitas. Evaluasi diri memiliiki peran vital dalam upaya memasuki dimensi lain abstraksi logika. Tidak ada tawaran lain yang lebih penting selain imajinasi sosiologis (sociological imagination) sebagai sarana untuk menelusuri pengakaran masalah sosial. 

Pola-pola masalah sosial terkait dengan elemen dan karakteristik yang membentuknya. Melakukan analisis sosial dapat diartikan sebagai proses untuk melakukan verifikasi (verification) dan falsifikasi (falcification). 

Ada pengetahuan atau bukti baru yang terbentuk sehingga kebenaran dapat dikonfirmasi dan ditemukan. Dalam hal ini, imajinasi sosiologis menjadi tumpuan dasar munculnya gerakan sosial (social movement) yang mampu menciptakan perubahan sosial (social change) dalam tatanan masyarakat.

Analisis sosial sangat penting dalam dunia akademik dan kehidupan manusia sebagai bagian dari struktur sosial. Sistem, kebijakan, struktur dan isu-isu yang terisolasi merupakan unsur-unsur yang membentuk cara hidup bersama sehingga tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Analisis sosial sendiri dapat dipahami sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran yang lebih luas dari situasi sosial dengan mengeksplorasi hubungan historis dan strukturalnya (Holland and Henriot 1983, 14). 

Konsep ruang dan waktu itulah yang kemudian membantu seseorang untuk mampu membedakan antara dimensi obyektif dengan dimensi subyektif dari sebuah realita. Akan tetapi, dalam menganalisis masalah sosial, tentu saja subyektivitas diberi ruang karena terkait dengan persepsi. Dengan kata lain, persepsi atau cara memandang suatu masalah sosial harus lah berlandaskan pada obyektivitas.

Mengakomodasi interaksi subyektivitas dan obyektivitas dalam diri seseorang menekankan pentingnya penilaian atau cara melihat (evaluasi) diri sendiri (self-criticism). Kondisi ini dipahami juga dengan istilah kritik internal untuk menemukan kekurangan dalam diri atau penguatan bahwa diri sendiri belum cukup baik. 

Pengalaman di lapangan selama melakukan analisis sosial setidaknya mengantarkan kita pada pertentangan antara standar (kualitas) ideal personal dengan realitas. Peranan sosial individu seringkali terbentuk atas dasar evaluasi pada diri sendiri karena daya kritis untuk mengoreksi performa yang telah berjalan.

Umumnya, proses evaluasi diri (self-criticism) cenderung berpusat/menekankan pada aspek-aspek negatif dari konsep diri, kehidupan atau umpan balik (feedback) (Chang 2007). Sesuatu yang tidak disukai (dibenci) dari diri sendiri sebagai hasil evaluasi diri akan menghasilkan output berupa konstruksi cara pandang terhadap dunia di luar diri sendiri (orang lain dan lingkungan sekitar). 

Dalam melakukan analisis sosial, evaluasi diri mesti diberikan ruang untuk mendapatkan obyektivitas dari permasalahan yang diamati. Artinya, persepsi yang terbentuk sebagai kesimpulan itu harus diperhadapkan dengan koreksi pada diri sendiri sejauh mana sudah digunakannya ukuran-ukuran (standar) ideal penjaringan informasi. Sebelum berada di lapangan jelas bahwa kritik internal harus dikuatkan terkait dengan kekurangan dalam diri dan penguatan pesan bahwa diri sendiri tidak cukup baik. 

Kondisi ini akan mampu menjadi landasan untuk mendasari pada akar pemahaman bahwa masalah sosial tidak dipandang dari dominasi idealisme yang melekat (inheren) dalam diri individu. Dengan demikian, persepsi terhadap suatu masalah sosial dapat dikatakan sebagai proses dinamis atas upaya menggali kebenaran agar sampai pada peranan sosial untuk membuat perubahan.  




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline