Lihat ke Halaman Asli

Andi Suryadi

Investment Alchemist

Pertanian Indonesia Tidak Butuh Spiderman

Diperbarui: 3 Oktober 2018   08:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Spiderman merupakan karakter pahlawan super (super hero) yang diidentikkan dengan hewan laba-laba. Sebagai pahlawan super ia tentu memiliki kemampuan untuk melindungi dunia dari berbagai ancaman. Ia dapat menggunakan jarring-jaringnya sebagai senjata untuk menyerang sekaligus bertahan dari serangan lawan. Sejak kemunculan perdananya pada tahun 1960-an, pahlawan super fiktif komik Marvels Studio ini menjadi salah satu karakter yang paling populer dan sukses secara komersial.

Berbicara tentang pahlawan super, tentu tidak terlepas dari dunia-dunia di barat. Dunia yang menjadi tempat lahirnya berbagai pahlawan super di semesta ini.  Dengan segala teknologi, kekayaan intelektualitas, industri dan dominasinya dalam berbagai bidang kehidupan, negara barat dijadikan sebagai cerminan kemajuan dunia. Kebanyakan strategi pembangunan negara-negara dunia ketiga diadopsi dari barat. Akibatnya, seringkali salah kaprah karena perbedaan konteks dan karakteristik pembangunan yang mendasa sehingga ratusan juta manusia luput dari "jamahan" kemajuan ekonomi.

Darurat Regenerasi Petani

Di negara-negara barat, pembangunan ekonomi memerlukan transformasi struktural ekonomi yang cepat. Semula mengutamakan kegiatan pertanian masyarakat, menjadi kompleksitas masyarakat yang didalamnya terdapat bidang industri dan jasa modern. Sektor pertanian dipandang sebagai penunjang industri yang dinamis dalam proses pembangunan. Benar saja, keberhasilan pertumbuhan industri itu menciptakan kemiskinan dan ketimpangan. Pekerjaan rumah terberat dihadapi Indonesia saat ini sebagai sebuah negara berkembang ialah mentrasnformasi sistem pertanian. Berdasarkan sensus pertanian Badan Pusat Statistik (2013), dari total 26.135.469 petani yang terdata, kelompok usia 45-54 tahun mendominasi dengan jumlah sebanyak 7.325.544 petani. Kemudian kelompok usia 35-55 tahun sejumlah 6.885.100 orang diurutan kedua. Sementara kelompok usia 55-64 dan lebih dari 65 tahun sebanyak 5.229.903 dan 3.332.038 petani. Keadaan sebaliknya ditunjukkan oleh usia muda di bawah 35 tahun yang semakin ke bawah jumlahnya semakin mengerucut. Artinya, Indonesia menghadapi apa yang disebut dengan darurat regenerasi pertanian.

Apakah penyusutan jumlah petani berarti kemajuan? Tentu jawabannya tidak. Mengerucutnya jumlah petani bukanlah kabar gembira, tetapi justru berita duka bagi kelangsungan hidup umat manusia. Kedaulatan produksi pangan masa depan justru terancam. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana jadinya ketika semua manusia mengenakan dasi (lambing kesuksesan) tetapi krisis pangan. Semua orang tidak akan bertahan hidup apabila hanya berlindung dibalik kostum kebanggaannya yaitu setelan rapi dan tempat kerja yang nyaman tanpa ada produksi pangan. Bahkan seorang pahlawan super seperti spiderman saja membutuhkan makanan, ia perlu menikmati lezatnya nasi gudeg (makanan khas Yogyakarta).

Transformasi Pertanian

Salah satu alasan terbesar mengapa sektor pertanian subsisten tidak begitu diminati karena produktivitas yang rendah. Rendahnya produktivitas pertanian membuat gairah investasi sangat minim. Inovasi dan teknologi dibidang pertanian berkembang sangat lambat. Akibatnya, pertanian di Indonesia belum mampu dijadikan bisnis komersial modern yang memiliki kapasitas produksi tinggi. Sudah seharusnya sektor pertanian di Indonesia berbenah dari pertanian subsisten ke sistem diversifikasi dan spesialisasi.  Menurut Todaro dan Smith dalam  bukunya Economic Development (2015), para petani mengkombinasikan berbagai faktor produksi bukan semata demi terpenuhinya kebutuhan sendiri atau pun membuat  surplus yang dapat dijual, melainkan keuntungan komersil yang maksimum.

Setidaknya diperlukan dua hal yang menjadi dasar dalam mentransformasi sistem pertanian apabila ingin lebih produktif. Pertama, inovasi dan teknologi dalam bidang pertanian Indonesia yang cenderung masih subsisten. Masyarakat harus diperkenalkan dengan tenaga baru yang dapat menggantikan tenaga manusia. Kedua, secara kelembagaan mahasiswa perguruan tinggi diarahkan untuk bertani dan menyelesaikan masalah pertanian serta meninjau kembali aturan-aturan yang menjaga keberadaan lahan pertanian dari kepentingan  birokrat dan kapitalis dalam penguasaan lahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline