Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) yang disusun setiap tahun oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota berisi rencana pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan program dan kegiatan yang direncanakan selama satu tahun anggaran.
Penyusunan RKPD dilakukan sesuai mekanisme yang mengacu pada Undang-undang Nomor 25 tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembiayaan dalam RKPD tersebut dititikberatkan pada APBN dan APBD. Keikutsertaan dunia usaha dan masyarakat belum diatur secara baik dalam peraturan perundangan tersebut.
Pembangunan bukanlah tugas dan tanggung jawab pemerintah saja, melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab semua komponen masyarakat termasuk dunia usaha, perguruan tinggi, dan masyarakat. Dengan demikian, pembiayaan pembangunan seyogyanya bukan semata berasal dari pemerintah saja (APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/ Kota), namun bisa juga berasal dari konstribusi dunia usaha dan masyarakat.
Secara umum yang di jumpai selama ini di Indonesia adalah dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah, titik berat pembiayaan hanya berasal dari pemerintah, baik APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Provinsi, maupun APBD Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten Muara Enim melalui Bappeda-nya telah menyadari bahwa pembiayaan dalam penyusunan perencanaan pembangunan daerah harus dapat mengakomodir pembiayaan yang berasal dari dunia usaha termasuk perbankan dan masyarakat.
Hal yang terlintas ketika itu adalah RKPD Non-APBD yang diharapkan dapat mengoptimalkan sinergisitas peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam pembangunan daerah, selain juga dapat meningkatkan pembiayaan pembangunan daerah sekaligus dapat menginventarisasi aset hasil pembangunan secara akuntabel.
Pada prosesnya, Kabupaten Muara Enim akhirnya berhasil memulai "impian" tersebut dengan adanya RKPD Non-APBD sejak Tahun 2015 yang bertujuan membentuk suatu perencanaan pembangunan yang terintegrasi antara pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha.
Dengan demikian, keikutsertaan mereka juga sudah dimulai dari tahapan perencanaan pembangunan di tingkat desa (Musrenbang Desa), tingkat kecamatan (Musrenbang kecamatan), dalam Konsultasi Publik di tingkat kabupaten, Forum Perangkat Daerah di tingkat Kabupaten dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan RKPD di tingkat Kabupaten (Musrenbang Kabupaten).
Proses ini pada gilirannya membuat dunia usaha dan masyarakat juga tahu dan memahami usulan-usulan yang diajukan oleh masyarakat mulai dari tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten adalah benar-benar usulan yang dibutuhkan masyarakat di wilayah operasinya masing-masing.
Dalam Forum Perangkat Daerah di tingkat kabupaten, usulan-usulan masyarakat yang telah diverikasi bersama (Bappeda, OPD, Kecamatan/Desa/Kelurahan, dan stakeholder lainnya) berdasarkan prioritas pembangunan daerah yang telah ditetapkan Bupati dan prinsip "money follow program", maka disepakati untuk diakomodir dalam Rancangan RKPD.
Dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran pendapatan daerah, maka untuk usulan-usulan program pembangunan yang tidak dapat dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), akan dimasukkan dalam rencana program pembangunan yang akan diusulkan kepada dunia usaha dan atau masyarakat untuk dibiayai pelaksanaannya. Anggaran dunia usaha yang digunakan dalam hal ini adalah anggaran Corporate Social Responsibility (CSR).