Bagi seorang forester, hutan adalah penyangga kehidupan yang paling esensial, sumber kehidupan, sumber plasma nutfah, dan tempat berlindung dari ancaman kehidupan.
Bagi seorang ekonom, hutan adalah sumber pendapatan/uang yang bernilai besar. Bagi petani, hutan adalah kawasan pengatur tata air bagi irigasi mereka. Dan bagi penggiat lingkungan, hutan adalah pengendali bencana, pengatur iklim mikro, tempat penyimpanan karbon, dan untuk mengurangi polusi udara. Hutan mempunyai karakteristik multi fungsi yang bersifat holistik dan jangka panjang.
Oleh sebab itu, keberadaan hutan selalu berhubungan dengan isu-isu terkini seperti perubahan iklim dan pemanasan global, ketahanan pangan, air dan energi, pertumbuhan penduduk dan kemiskinan, serta daya dukung bagi pertumbuhan berkelanjutan.
Bagi bangsa ini, keberadaan hutan sangat vital. Pada saat ini terdapat sekitar 19.410 desa yang berada di sekitar hutan dengan sekitar 48,8 juta orang yang hidup bergantung dan berkaitan dengan hutan. Sebuah angka yang sangat besar.
Hutan dan desa adalah sebuah fakta dimana simbiosis diantara keduanya mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia. Hutan desa merupakan kawasan hutan negara yang masuk dalam wilayah desa tertentu dan dikelola oleh masyarakat desa tertentu.
Dalam konsep ini masyarakat desalah sebagai aktor utama pengelola, meskipun nantinya berbentuk kelompok tani, badan hukum perkumpulan, koperasi, dan lain sebagainya.
Salah satu skema perhutanan sosial yang diminati di Provinsi Bali adalah skema hutan desa. Hal ini ada kaitannya dengan kondisi kultur masyarakat Bali itu sendiri secara umum.
Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani hak pengelolaan atau ijin pemanfaatan, dan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.
Kala itu, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu hutan desa di Bali, khususnya di Buleleng. Tempat itu adalah Desa Selat. Banyak pembelajaran tentang alam dan kehidupan dapat saya gali disini.
Hutan Desa Selat telah dikelola oleh masyarakat desa sejak tahun 2003 dengan melakukan kegiatan rehabilitasi secara swadaya. Saat itu kondisi kawasan hutan rusak sejak tahun 1998 yang menyebabkan sumber air hilang.
Setelah itu, pada tahun 2005 dilakukan Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mengandalkan Kelompok Tani Hutan (KTH) dengan persentase keberhasilan sebesar 60%.