Di era globalisasi seperti sekarang, pertumbuhan dan pembangunan semakin kian nampak megah dan terlihat sangat modern. Namun di balik kemegahan dan kemodernan bangunan-bangunan tersebut terdapat sebuah masalah yang kian hari dampaknya dapat kita rasakan, yaitu kerusakan lingkungan. Jauh dari pandangan itu semua, ada surga tersembunyi di pelosok Provinsi Sumatera Barat yang masih peduli dengan lingkungan, yaitu Nagari Sungai Buluh. Selain kearifan lokal yang masih terjaga, dukungan topografi perbukitan dan kondisi hutan memungkinkan sistem kehidupan masyarakat yang mengandalkan hidup dari pertanian dan perkebunan berbasis agroforestri dapat lebih lestari.
Hutan Nagari Sungai Buluh terletak di Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman. Nagari Sungai Buluh sendiri memiliki luas wilayah 19.250 hektar. Hutan Nagari Sungai Buluh mendapat izin dari menteri kehutanan tentang hutan nagari sesuai dengan SK Penetapan Areal Kerja dengan nomor. SK.856/Menhut-II/2013 tanggal 2 Desember 2013 seluas 1.336 hektare. Pengelolaan juga ditindaklanjuti dengan Hak Pengelolaan Hutan Nagari oleh Gubernur Sumatera Barat Nomor.522.4-789-2014 tanggal 16 Oktober 2014 dengan luas 780 hektar.
Sebagian besar masyarakat Nagari Sungai Buluh hidup dengan mengandalkan hasil perkebunan dan pertanian seperti padi, petai dan jengkol. Selain itu, beberapa masyarakatnya bekerja sebagai pekerja swasta di industri-industri yang berada dikawasan sekitar nagari. Masyarakat juga membentuk Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh dengan didampingi oleh LSM WARSI. Pembentukan LPHN tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pengelolaan kawasan hutan lindung yang kurang optimal serta maraknya praktik illegal logging.
Saya berkesempatan mengunjungi hutan ini dengan penuh ketakjuban. Hal pertama yang menarik jiwa “ingin tahu” saya adalah bahwa ternyata masyarakat Nagari Sungai Buluh secara adat telah mengatur peruntukan kawasannya. Berdasarkan topografi dan rencana pengelolaan, peruntukan kawasan dibagi 4 yaitu: 1) hutan larangan; 2) hutan cadangan; 3) kawasan olahan, kebun dan areal persawahan; serta 4)hutan kesepakatan. Hutan larangan adalah kawasan-kawasan yang merupakan hulu-hulu sungai yang dilarang menebang dan membuka lahan. Sementara itu, hutan cadangan adalah kawasan-kawasan yang diperuntukan sebagai daerah perkembangan lahan kelola generasi selanjutnya. Kawasan olahan, kebun dan areal persawahan adalah yang paling banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan hutan kesepakatan adalah kawasan yang disepakati menjadi ladang masyarakat.
Kearifan lokal dan tekad menjaga kawasan hutan merupakan tujuan utama masyarakat ketika mengusulkan Hutan Nagari Sungai Buluh sebagai hutan desa dalam skema perhutanan sosial. Salah satu kearifan lokal masyarakat yang bisa dijumpai di kawasan ini adalah adanya ikan larangan, yaitu kesepakatan untuk melarang menangkap ikan pada areal tertentu pada sebuah sungai. Penangkapan hanya dilakukan pada waktu-waktu yang telah disepakati sehingga jumlah ikan termasuk ekosistemnya masih sangat terjaga dengan baik. Ada pembagian zonasi sungai sepanjang 25 km tersebut. Zona inti hanya sepanjang 500 meter terletak di tengah kampung. Kemudian di atasnya terdapat zona penyangga 1 km. Setelah itu zona bebas 15 km Di bagian bawah sepanjang 8,5 km juga menjadi zona penyangga hingga bertemu sungai besar.
Ikan zona inti dilarang selama “diuduh”. Sedangkan zona penyangga dibuka sekali dalam 2 tahun hingga 2,5 tahun. Sedangkan zona bebas tidak dilarang sama sekali. Itu untuk lokasi warga mengambil ikan untuk konsumsi. Sistem proteksi tradisional ini berhasil melestarikan ikan asli sungai tersebut. Setidaknya ada 9 jenis ikan khas lokal yang hidup di sana, seperti gariang, kulari, mungkuih, udang (beberapa jenis), basi-basi, ikan panjang, simumbue, silakok, dan sangek.
Potret Hutan Nagari Sungai Buluh tidak hanya ikan larangan, tetapi ada beberapa potensi lain, baik potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), potensi sumber daya manusia (generasi muda dengan dukungan ninik mamak), maupun potensi jasa lingkungan. Potensi HHBK yang ada diantaranya berupa rotan, manau, karet, aren, jamur, jengkol, durian, petai, tanaman bumbu dapur serta tanaman obat. Selain itu, potensi jasa lingkungan di Hutan Nagari Sungai Buluh antara lain: a) Sumber air bersih bagi masyarakat sekitar Sungai Buluh dan pasokan air bersih Bandara Minangkabau; b) Potensi wisata alam (air terjun dikelilingi oleh hutan dan udara yang sejuk dan keindahan alam) dan wisata budaya (tari-tarian, pencak silat, seluang); c) Lubuk larangan yang dibagi dengan zona oleh masyarakat melalui kearifan lokal, diantaranya zona pembibitan dan zona pemanfaatan dan; d)Sumber keanekaragaman hayati dan laboratorium alam.
Dalam implementasinya, pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh juga mengalami beberapa konflik dengan masyarakat, seperti konflik dalam mendapatkan informasi perhutanan sosial dengan ninik mamak karena pemahaman masyarakat kurang, konflik terkait illegal logging dan konflik dalam penataan batas. Upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh Lembaga Pengelolaan Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh yaitu dengan memasang papan himbauan untuk larangan masuk kawasan hutan.
Dengan adanya LPHN, pemanfaatan HHBK oleh masyarakat lebih terkontrol dan sarpras ekowisata berkembang. Hal ini berdampak pada perekonomian masyarakat yang meningkat melalui usaha penginapan serta partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan. Saat ini, terdapat 20 unit rumah yang telah dikembangkan untuk usaha penginapan. Pendampingan masyarakat dalam pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh terus dilakukan, baik dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun penyuluh.
Berdasarkan diskusi dengan Lembaga Pengelola Hutan Nagari (LPHN) Sungai Buluh dan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat, implementasi pengelolaan hutan nagari menghadapi beberapa permasalahan, seperti misalnya dalam aspek teknis pelaksanaan, yang meliputi : (1) Usulan permintaan izin perhutanan sosial yang banyak dari masyarakat tidak diimbangi dengan kapasitas pendanaan dan SDM Dishut Sumatera Barat dan Ditjen PSKL Kementerian LHK sehingga implementasi di lapangan menjadi tidak maksimal; (2) Pertukaran informasi antar stakeholder masih terbatas; (3) Belum adanya inventarisasi yang baik, khususnya terkait pemetaan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Nagari Sungai Buluh; (4) Tenaga pendamping/penyuluh muda terbatas, sementara banyak penyuluh yang kurang produktif karena faktor usia; (5) Sumber daya manusia yang terbatas dalam mengelola areal perhutanan sosial maupun proses perizinan; serta (6) Masih adanya klaim sebagian masyarakat terhadap kawasan karena kurangnya pemahaman dan sosialisasi definisi perhutanan sosial adalah bukan hutan hak, tetapi hanya akses kelola.
Aspek kelembagaan menghadapi permasalahan-permasalahan khusus seperti : (1) Target besar dari pemerintah pusat tidak diimbangi dengan kapasitas kelembagaan yang memadai didaerah (Unit Pelaksana Teknis Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan sangat terbatas); serta (2) Masih terbatasnya pertukaran informasi antar nagari/desa sehingga hasil implementasi perhutanan sosial juga beragam. Terkait aspek pendanaan, permasalahan yang ditemukan diantaranya : (1) Komitmen dari Pemerintah Daerah untuk melakukan pengelolaan Hutan Nagari Sungai Buluh dengan dana APBD masih rendah; dan (2) Masih besarnya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan dana baik dari LSM maupun dana hibah dalam melakukan kegiatan penyuluhan/pendampingan perhutanan sosial. Sementara itu, permasalahan aspek regulasi adalah adanya aturan yang tidak memperbolehkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan yang berizin seperti Hutan Nagari oleh Pemerintah Daerah.