Slow Living di Kota Kelahiran Sendiri Sungguh Menyenangkan
Hal yang paling saya impikan ketika libur panjang tiba adalah kembali ke kota kelahiran. Di mana kota kelahiran ada nostalgia dan bisa merekam peristiwa-peristiwa masa lalu sebagai bekal di masa yang akan datang.
***
Kota kelahiran saya sendiri di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sekitar enam hingga tujuh jam perjalanan dengan kecepatan 60-80 km per jam dari arah Kota Makassar dengan kendaraan roda empat. Bisa angkutan umum berupa mobil trayek penumpang yang pergi pulang setiap hari, bisa juga dengan mobil travel Kalla Travel, mobil bus pengangkutan penumpang Makassar ke arah Kendari melewati pelabuhan Bajoe, atau bisa saja kendaraan pribadi. Setelah di Kota Bone, kampung halaman masih berkisar 15-20 menit perjalanan. Di perjalanan itulah kita menyaksi hamparan sawah tadah hujan. Tepatnya di desa Pattiro Bajo, di mana mayoritas masyarakatnya merupakan petani padi, sebagian perantau yang hanya meninggalkan rumahnya dalam keadaan kosong, sebagian pula nelayan. Adapun berprofesi sebagai ASN dan karyawan pabrik tidaklah banyak. Penampilan atau aktivitas pertanian, perkebunan dan peternakan di desa itu sungguh ramai.
***
Dengan jarak yang terbilang cukup jauh ke kota kabupaten, sehingga aktivitas masyarakat di desa saya cukup ramai. Di waktu panen padi, terlihat lalu lalang petani, pembeli gabah, gembala, pengepul jeramih, pedagang jajanan begitu ramai. Boleh di kata desa kami saat itu belum tersentuh modernitas alias bau kota. Bahkan jika mau ke kota terkadang harus menunggu lama. Angkot yang ke kota terbilang jarang, ditambah jalanan masih pebuh dengan tanah liat. Demikian ke Makassar, hanya satu dua angkutan ke sana, itupun kami harus mendaftar lebih awal agar dijemput dan di antar pulang nantinya. Kota bagi kami di desa adalah hal asing. Namun anehnya sangat banyak orang di kampung kami yang sarjana di era 80-an, banyak pula perantau ke Malaysia, ke luar pulau hingga menjadi TKI TKW di negara orang.
Jika lebaran tiba, terlihat sungguh meriah kampung kami yang dipadati perantau. Bahkan masjid sangat padat, jalanan begitu ramai, kuburan tempat ziarah bagi keluarga yang telah meninggal dunia pun sangat ramai. Tiga hari pasca lebaran sangat terasa suasana desa kami. Seminggu setelahnya kembali sunyi. Hanya dihuni petani dan pengembala ternak. Orang perantau sudah kembali. Desa kembali sunyi namun sungguh asri. Anak-anak bisa berlarian kemana saja tanpa ada kendaraan, anak remaja bisa berenang ke sungai kapan saja dengan tawaran air yang jernih. Nelayan bisa menangkap ikan karena dekat dengan laut, pengembala bisa menggembala ternak di mana saja kecuali di musim tanam. Ladang dan kebun begitu luas. Semua tempat adalah tempat bermain bagi anak-anak, semua rumah adalah tempat untuk mampir untuk sekedar ngopi dan makan pisang goreng.
Rumah dan jalanan nampak unik. Hampir semua rumah adalah rumah panggung, jarang ada rumah kayu, bahkan banyak rumah adat. Jalanan dipenuhi hamparan padi di pinggirnya, dan juga pohon asam sehingga begitu teduh dan asri. Olehnya itu, kampung halaman kami masih menjadi salah satu alternatif untuk slow living. Hingga sekarang, meski sudah tercium aroma kota, namun masih kita dapatkan ruang terbuka hijau dengan hamparan sawah. Sungai terbentang luas dan panjanh tempat untuk berenang dan menangkap ikan air tawar. Ladang dan kebun tempat berburuh kelapa muda dan ubi bakar, jagung bakar hingga hal-hal unik yang tak didapatkan di daerah lain atau pun di kota. Di musim penghujang terbilang jarang kebanjiran bahkan tidak pernah lantaran daerah tersebut cukup tinggi dan terdapat berbagai ruang resapan air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H