Lihat ke Halaman Asli

Andi Samsu Rijal

Dosen/ Writer

Upaya Membebaskan Perempuan dari Belenggu: Pembacaan atas Tiga Cerpen Juara Pesta Pena 2024

Diperbarui: 6 Mei 2024   12:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penggambaran perempuan dalam iklan, sumber gambar;https://womenlead.magdalene.co/2021

Upaya Membebaskan Perempuan dari Belenggu: Pembacaan atas Tiga Cerpen Juara Sayembara Pesta Pena 2024

"Hari demi hari aku pergi mengajar bahasa ibu ke beberapa kursus demi menaklukkan kejemuan, menyangkal kesangsian dan menyusun batu-batu ketabahan. Menjelang fajar, aku selalu memandang ke timur untuk mengenangnya, seolah-olah jarak antara aku dan Jakarta hanya sedekat ini. Sekarang, segalanya terasa benar, aku masih orang Indonesia dan senantiasa demikian. Aku Ingin Pulang (Cerpen Firda Putri Astuti, 2024)

Entah secara kebetulan atau memang sengaja perempuan dibicarakan dalam kisah ketiga cerpen juara sayembara pesta pena 2024. Saya membaca ketiga cerpen pilihan juri pesta pena antara lain karya Zulfan Fauzi dengan judul Perempuan yang Membaca Hujan (juara pertama), karya seorang pustakawan Firda Putri Astuti dengan judul Aku Ingin Pulang (juara kedua), dan karya Mutiara Fahira dengan judul Yang Tersayang, Carmen Brecht (sebagai juara ketiga). Ketika kisah menarik tersebut, dimana perempuan keluar sebagai benda yang seksi, ia dipajang di depan umum kemudian semua orang melihatnya sebagai tubuh yang melok.

Perempuan-perempuan yang dikisahkan oleh mereka tidak terlepas dari adanya tekanan penulis untuk keluar memberanikan diri menelanjangi dirinya. Meski secara tersirat baik dirinya (perempuan) sebagai obyek yang diceritakan berfungsi sebagai tokoh istri dalam cerita perempuan yang membaca hujan dan dokter yang termuat dalam kisah Yang Tersayang, Carmen Brecht maupun dirinya (penulis) yang keluar sendiri seperti tokoh aku dalam Cerita Aku Ingin Pulang. Bukankah aib jika seorang yang berumah tangga menceritakan keretakan rumah tangga. Bukankah aib ketika pertikaian yang tak berujung lalu salah satu di antara kita keluar sebagai pemenang (pemegang dosa) kemudian lainnya keluar sebagai yang kalah (terbunuh) dalam kisah Perempuan Yang Membaca Hujan. Bukankah jeritan hati perempuan yang tengah dilanda rindu dengan kampung halaman, negeri yang tercinta. Sehingga melihat lambang merah putih berkibar atau suara Indonesia Raya dinyanyikan bersama di panggung teater akan menggetarkan jiwa perempuan "AKU" dalam kisah Aku Ingin Pulang.

Bukankan sebuah tekanan batin pada kisah perempuan yang ingin berkarir sebagai dokter yang baik lalu tiba-tiba suaminya melarang, papa juga ikut melarang. Ditambah lagi tekanan budaya dan perang yang melanda mengharuskan untuk terhenti pada sebuah titik sementara perjuangan baru di awal atau di tengah semangatnya yang membara. Demikian yang dialami seorang dokter cantik berdarah indo, sepertinya lulusan kedokteran sekolah Hindia Belanda sehingga ia harus diperhadapkan dengan situasi mencekam. Di sisi lain korban berjatuhan yang tak tertolong karena desakan dua pihak yang bertikai, di sisi lain sumpah sebagai tenaga medis yang harus menyelamatkan nyawa anak-anak, perempuan dan juga yang terluka tanpa melihat ras, warna bendera dan juga siapa yang benar salah.

Kisah-kisah dalam cerpen tersebut penuh dengan kesenjangan, konflik antar tokoh dan juga kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dalam kisah tersebut tidak semua bermakna maskulinitas, tetapi bisa saja sebuah pergolakan politik yang mendiskriminasi kaum marginal. Bisa saja perempuan dalam kisah tersebut adalah obyek atau korban dari kekerasan hidup.

Tak salah jika Bourdieu mengatakan atas adanya dominasi maskulinitas, demikian halnya yang ia istilahkan sebagai kenyataan hidup atau paradox doxa. Seakan laki-laki diciptakan lebih tinggi dibandingkan perempuan, itu yang ia sebut sebagai order of the world. Diskursus tentang patriarki dan dominasi peran tadi tak akan habis dibahas selama masih ada yang namanya kepentingan. Demikian kepentingan kelas selalu menjadi penentu dalam pengambilan kebijakan.

Kisah-kisah perempuan tersebut sungguh sebuah upaya yang dibangun penulis agar keluar dari permasalahan dihadapi. Demikian upaya penulis, bahwa salah satu cara untuk tidak memendam sendiri problematika yang ada adalah mengkisahkannya. Kisah yang menarik tentu tidak terlepas dari unsur-unsur kesusastraan yang dipahami oleh penulis.

Ada dua unsur yang tak bisa lepas dari kekaryaan prosa itu. Pertama unsur intrinsik dan kedua unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik ini tentu secara umum, para penulis sudah tahu seperti tokoh/ penokohan, latar, plot, amanat, sudut pandang, serta gaya bahasa dan lainnya. Sehingga paling tidak sebuah karya prosa atau cerpen paling tidak melingkupi aspek itu untuk dikatakan sebagai sebuah cerpen. Meski terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Namun beberapa pakar hanya memberi batasan-batasan agar seseorang bisa memberi justifikasi atau kurang lebih sebagai pedoman bagi penulis. Demikian halnya pengamat sastra dan pembelajar sastra tentunya akan menganalisa aspek struktur yang ada dalam kekaryaan tersebut. Sehingga kajian seperti ini tidak terlepas dari teori strukturalisme.

Selain dari unsur intrinsik tersebut. Ada hal menarik bagi saya pribadi yang jarang tersorot oleh para pengamat karya atau pembaca pada umumnya. Unsur ekstinsik sebagai bagian daripada unsur kekaryaan akan mengambil peran di dalamnya. Bahkan para penulis-penulis kenamaan akan sangat nampak aspek ini. Sebut dalam karya Andrea Hirata tidak akan pernah lepas dari aspek sosial budaya masyarakat yang ada di pulau Sumatera. Aspek sosial budaya ini sangat memberi peran penulis untuk merekam ingatannya atas peristiwa yang dialami atau yang orang lain alami (jika ia sebagai narator).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline