Lihat ke Halaman Asli

Andi Samsu Rijal

Dosen/ Writer

Puisi dan Hujan April

Diperbarui: 16 April 2024   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan April kali ini tak seperti sebelumnya. Bulirnya mungkin lebih besar dari biasanya. Hujan pun disertai angin kencang. Atap-atap seng saling bersahutan. Bunyi pesawat di atas sana terdengar mondar-mandir, sepertinya menunggu jeda dari derasnya hujan. Burung-burung pun di awan enggan pulang ke pantai, muara, atau ke hutan. Mereka juga menunggu redanya hujan. 

Air terus mengalir dari atas, atap, dari dataran tinggi ke rendah, dari got ke got, hanya cacing tanah dan ayam yang kegirangan. Mereka nampak menikmati suasana hujan sore itu saat aku duduk di beranda rumah yang tak berbuat apa-apa. Aku hanya berfikir darimana datangnya air, dari mana datangnya musim, kapan berakhir musim yang sedang berjalan kapan memulai pada musim selanjutnya. 

Aku mencoba mencatat kejadian hari ibu dalam sebait puisi hujan. Lalu aku baca sebelum ia reda. Hujan tak peduli dengan puisi. Ibaratnya menabur garam di lautan, atau kencing berdiri sembari mandi air hujan, kencing berbaur dengan air got, larut hingga ke muara. 

Puisi tetap kubaca, bait demi bait bercampur suara hujan. Kertasku basah, tintanya cair lalu mengalir bercampur dengan lainnya entah dengan kencing, air hujan atau air got yang baru saja didorong oleh derasnya arus. Sampah-sampah perlahan bersih, tentu di ujung sana akan menumpuk. 

Sudah lama aku tidak mandi air hujan. Anak-anak kecil di luar sana berteriak, takut ya', takut ya'. Aku tak peduli, kamu enak , kataku. Selepas hujan, ada yang gosokkan badan, ada yang menyiapkan air hangat dan selimut. Ada kehangatan di dalam rumah sesuai itu. Sementara aku, hanya ditemani puisi yang begitu sedih, ditulis dengan luka dan air mata, ditutupi hujan deras, diselimuti oleh rindu yang mendera. 

Aku rela terpenjara, asalkan hujan tidak masuk hingga di halaman bukuku. Demikian penutup dari puisi hujan itu.

Hujan tak peduli. Ia tetap lanjutkan titahnya sebagai hujan April yang dirindukan oleh Juni atau Agustus pada sebuah perkemahan tujuh belas Agustus. Sayang pramuka sudah dihapus. Tak ada lagi praja muda karana. a

Puisi tetap mengalir hingga ke halaman berikutnya. Entah siapa yang peduli dengan bait-baitnya. Ia tak romantis, ia tak sedih, ia tak enggan bercerita tentang masa lalunya. Ia hanyalah hujan atau puisi dari hujan yang dirindu para petani, padi, nelayan, ikan, ayam, cacing tanah, pengairan, kodok dan kecebong. 

Hujan tetap mengangkat air dari tempat lain. Yang tanpa berkurang sedikitpun volume air itu. Atau sedang dalam pergantian musim. Hujan dan puisi tak memproduksi air atau syair. Semuanya hanya ditumpahkan ulang dan dituangkan ulang tanpa ada yang baru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline