Lihat ke Halaman Asli

Andi Samsu Rijal

Peneliti Bahasa dan Budaya

Sebelum Ia ke Kota

Diperbarui: 16 Desember 2023   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

air terjun bantimurung, dokumentasi penulis

Sebelum orang-orang kota meminum air terjun itu, sedianya mereka harus berdoa dan melakukan ritual yang sama seperti orang desa. Air itu setelah terjun dari bebukitan, lalu melewati celah-celah bebatuan, pepohonan, kemudian mengalir ke sungai. Nanti di sungai besar, para pengusaha air minum melakukan pipanisasi hingga air tersebut tiba di rumah-rumah orang kota. Beberapa celah yang harus dilalui air terjun sebelum terminum lewat bibir orang-orang kota. Air itu melewati sungai-sungai dari gunung batu kapur, aliran pipa hingga ke kota dan ke dapur. Air itu harus meminta izin kepada celah-celah dan benda-benda yang dilaluinya.

Air terjun itu mengalir tak henti-hentinya, sepertinya ada tuhan dalam roh air itu. Ia memiliki nafas panjang. Apakah ia tidak lelah berjalan dari gunung, bukit, sungai, lalu masuk dalam pipa hingga ke tenggorakan manusia-manusia kota. Orang-orang kota terkadang mengembalikan sebagian air yang diminumnya lewat hutan dan sungai ketika mereka ke sana. Mereka kencing sembarangan, bahkan saat camping atau saat mandi di air terjun. Mereka membuang sari air tersebut tanpa beban, tanpa berfikir akan meminumnya kembali. Tak sedikit orang-orang kota menyadarinya.

Berkat air terjun itu pula, orang-orang kota tak lagi menadah air hujan. Mereka membiarkan air hujan itu memasuki rumah mereka baik atas celah atap yang bocor atau atas meluapnya air got di pemukiman lantaran sungai yang pemukiman telah menumpuk sampah-sampah. Mereka kini menikmati air-air segar tanpa harus membuat sumur bor, mereka tak perlu lagi antri membeli air bersih yang dijual setiap hari oleh tenggulak. Mereka tak perlu lagi membeli air galon kemasan demi untuk mandi dan minum. Air keran, dari air terjen tersebut mereka bisa minum. Cukup dengan dimasak atau difilter dengan mesin. Mereka bisa gunakan dengan segala keperluan hidupnya. Sungguh pengemban di Kota Belanga Baru memanjakan orang-orang kota itu dengan hilirisasi air desa ke kota.

Sepanjang kemarau, orang-orang kota tak pernah meminta doa kepada sungai, laut, pohon, batu atau pun kepada pemberi hujan itu sendiri. Sejak kampung Belanga disulap jadi kota oleh pengemban, mereka lupa lagi atas ritual dulu. Memang indah dipandang mata atas bangunan di Kota Belanga Baru itu. Lampu-lampu kota di malam hari begitu megah, air mancur di mana-mana, tempat pun seperti di Eropa. Entah apa gerangan keuntungan pengemban itu. Mereka membangun kota dengan megah. Mereka membenah rumah-rumah warga menjadi rumah real estate. Apakah semacam tanam saham, saham sosial, ditagih kemudian saat pemillu. Ah! Bos pengemban itu tak pernah berbicara politik meski sedetik. Ia hanya fokus keindahan kota, hanya orang-orang kota saja yang malas. Maklum peralihan dari orang desa menjadi orang kota.

Orang-orang kota begitu yakin kalau air terjun itu tak akan pernah berhenti mengalir. Mereka selalu optimis bahwa air terjun tak akan habis meski kemarau panjang di Belanga. Tak ada di antara mereka penasaran dari mana saja air yang mereka konsumsi setiap hari. Bahkan sekedar bertanya kepada air dari mana asalmu pun tidak pernah, terlebih membaca doa kepada pemilik air, mereka sepertinya lupa.

Sesekali di antara mereka berangkat camping keluarga di hutan dekat temapt air terjun berasal. Selama di lokasi camping, tentu mereka beraktivitas, makan, minum di mata air hingga kencing sembarang tempat. Bahkan banyak yang sengaja kencing di sungai atau pada air yang mengalir. Padahal orang suku terasing di hutan tersebut, mengatakan famali jika kencing di air mengalir. Tak sedikit pula di antara mereka yang pergi mandi di sungai tempat air terjun tersebut nekat menjatuhkan diri dari bukit ke bebatuan hingga ke sungai. Di sungai itulah orang-orang kota yang datang mandi-mandi pasti mereka kencing di situ. Padahal masyarakat adat yakni suku terasing sudah melarang agar tidak boleh kencing di sungai.

Mereka ke hutan atau ke tempat air terjun berasal, bukan untuk mensiarahi kuburan nenek moyang mereka. Di mana hutan itulah asal muasal Kota Belanga Baru. Mereka datang hanya untuk bersenang-senang, sekedar melepas penat di kota yang megah itu. Bahkan jika mereka dappat sial, katanya ayo ke hutan atau ke sungai Belanga, di sana kita bisa buang sial.

Mereka tak pernah sadar jikalau air yang ditempati membuang penat adalah air yang akan ia minum di kota nantinya. Itulah bedanya dengan orang-orang Kota Belanga Baru dengan orang-orang Kampung Belanga Lama. Orang-orang kota jarang menanam pohon untuk kelestarian alam, untuk kelancaran air terjun di gunung batu kapur yang ada di desa, untuk menjaga banjir di kota, untuk serapan air, untuk menyimpan air di kala kemarau tiba. Orang-orang desa pada dasarnya tidak paham dengan hal itu semua. Mereka hanya mengerjakan apa yang ada di depan mata, mereka tidak mengerjakan apa yang dianggap famali bagi nenek moyang mereka.

Orang-orang desa selalu membawa sesajen ke mata air, ke muara sungai, ke batu besar, ke pohon besar. Mereka menganggap itu adalah tuhan kecil mereka yang membantu mereka hidup di desa. Mata airlah yang memberi mereka sumber kehidupan. Ia rasakan langsung dengan adanya mata air. Ia langsung mengambil air dari mata air, langsung meminumnya selebihnya dibawa pulang untuk keperluan dapur.

Di sungai-sungai tempat air mengalir, mereka mencuci, mandi dan tidak buang kotoran. Famali dengan buang kotoran di sungai, kata moyangnya. Mereka seakan memberi makan daun, pohon, batu, sungai, air, hutan, binatang liar di hutan, mentari pagi, rembulan malam. Dengan apa saja yang dianggapnya sebagai bentuk terima kasih kepada alam dan kepada tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline