Setelah semuanya pulang dari pasar Benteng, ibu-ibu di Belanga bergegas ke rumah Arajang. Mereka membantu Bu Aliah menyiapkan segalanya untuk acara Mappaenre. Sejak kematian nenek maria, Ibu Aliah telah dinobatkan sebagai penjaga adat Belanga oleh masyarakat dan dewan adat. Sehingga kehidupannya sehari-hari hanya di rumah adat itu. Bahkan ia juga sudah sedikit demi sedikit menjauh dari aktivitas keduniawian. Dalam artian ia hanya mengurusi aktivitas ibadah kepada Tuhan dan aktivitas kebudayaan masyarakat Belanga. Ia tak ke sawah, ke kebun dan juga tidak ke pasar layaknya ibu-ibu lainnya di Belanga. Ibu Aliah layaknya Bissu atau orang suci yang bekerja mengurusi aktivitas kebudayaan dan ketuhanan saja.
Hari-harinya Ibu Aliyah dikelilingi dengan aktivitas kebudayaan, konsultasi kejiwaan bagi anggota masyarakat Belanga yang membutuhkan nasehat dan doa. Ibu Aliyah tidak memiliki pasangan hingga keturunan. Saudara-saudaranya telah mengihlaskan aktivitas ibu Aliyah sebagai budayawan Belanga.
Para ibu-ibu yang datang ke situ semuanya telah disiapkan sarung batik (sarung kecil). sarung tersebut berfungsi untuk menutup auratnya bisa untuk menutup rok atau bahkan bisa untuk menutup rambut dengan model konde. Namun umumnya digunakan sebagai penutup rok mini agar terlihat sopan dalam mengikuti prosesi mappaenre. Saat prosesi mappaenre nanti yang dipandu oleh pabbaca maka tak satupun di antara mereka berbicara keduniawian apa lagi membicarakan aib orang lain. Apa bila hal itu terjadi maka terkadang mereka langsung adongkoreng seperti orang kerasukan jin.
Pukul sembilan pagi, mentari mulai memasuki celah-celah dinding rumah kayu itu. Ayam di dalam kandang bawah rumah arajang saling bersahutan ada yang berkotek ada pula yang berkokok. Ibu-ibu Belanga nampak semua sibuk menjelang acara mappaenre. Ada yang mengupas kulit kelapa muda lalu ditaruh di bakiak, ada yang menanak nasi lalu disaji di atas piring-piring putih menggunung bulat-bulat, ada pula yang memasak ayam kampung yang telah disembelih dimasak dengan bumbu 17 rempah. Tentunya dengan bumbu utama lengkuas sebab lengkuas menjadi rempah-rempah yang berlimpah di Belanga. Ayam yang disembelih pun tidak boleh warna putih dan warna hitam pekat, kemudian harus berjumlah 17 ekor masing-masing 10 betina 7 jantan. Ditambah telur ayam kampung 17 butir yang telah direbus. Jadi semua bahan-bahan diupayakan berjumlah 17 termasuk kelapa muda dan pisang kepok yakni 17 sisir.
Nampak Ibu Aliyah di tangga rakkeang (tempat Arajang) sedang sibuk meski ia ketua pelaksana. Ia pun turut membantu yang lain seperti mengupas telur ayam, menyediakan piring, bakiak, bahan-bahan yang akan digunakan mabbaca seperti dupa, kemenyan, daun siri, pinang muda 17 butir, dan uang kertas dengan berbagai jenis mulai dari seribuan hingga seratus ribuan berjumlah 17 lembar.
Setelah semua siap sedia, seperti makanan telah tersaji dengan isi rupa-rupa di atas bakiak. Menghadaplah Ibu Aliyah ke Daeng Sadi. Ia salah seorang tokoh budaya atau Sanro pabbaca, yakni orang yang dianggap bisa mabbaca . Orang-orang sepertinya tidak sembarang orang, ia dipilih atau punya kemampuan berkomunikasi dengan arwah yang ada di atas Arajang. Arajang adalah tempat menyimpan rumah-rumahan kuburan kecil. Katanya itu rumah orang yang mati lalu lenyap, namun ada petunjuk lewat generasi baik melalui mimpi maupun petunjuk lain. Mayat dalam rumah-rumahan kuburan itu juga bukan John Doe.
Setelah bersuci, Daeng Sadi memakai perlengkapan mabbacanya layaknya orang islam ingin sembahyang yakni sarung dengan kopiah, kemeja dan sajadah, tasbih dan Al-Qur'an kecil. Menghadaplah ia depan tangga naik di Arajang, ia seakan membaca mantra sembari melihat ke sana ke mari, ia pula memelototi atap rumah sembari berpegang pada tiang rumah yang dianggap possi bola (possi bola adalah tiang rumah yang terletak di tengah-tengah rumah kayu di tanah Bugis).
Dupa menyala, asapnya seakan berkeliling di ruang tengah sebelum naik ke atas. Aroma masakan ayam dan bau kemenyan semakin menyengat. Daeng Sadi tak peduli, ia tetap melangkahkan kakinya perlahan. Ia melangkahi satu anak tangga pertama lalu menuju pada anak tangga kedua, kemudian kaki kirinya mengikuti irama kaki kanan, demikian saling bergantian hingga mencapai di tangga ke sembilan.
Tibalah ia di depan arajang, di mana terdapat rumah-rumahan kecil dengan berbagai warna. ada warna kuning, merah dan sebagainya. setiap rumah-rumahan pula memiliki identitas dan riwayat kehadirannya di rumah arajang tersebut. Beberapa di antara penghuni arajang tersebut merupakan orang yang mati tenggelam di laut namun ia hadir kembali melalui mimpi orang tertentu hingga minta ditempatkan di arajang tersebut. Beberapa yang lainnya merupakan orang yang mati mallajang atau tiba-tiba menghilang, lalu ia datang dalam dunia ghaib untuk ditempatkan di arajang agar arwahnya tenang. Orang-orang tersebut dalam kepercayaan masyarakat tertentu di tanah Bugis layaknya orang suci atau waliullah.
Adapun tujuan mappaenre pada dasarnya hanya sebatas ziarah makam. Makanan yang telah disajikan pada saat mabbaca atau prosesi mappaenre nantinya akan disedekahkan kepada siapa saja. Dalam kepercayaan tertentu bahwa makanan tersebut telah dimakan alusunna (secara halus telah dimakan apabila doanya sampai), sehingga makanan tersebut hanya kasarnya saja yakni secara kasat mata.