Siang ini aku duduk di hadapan remaja yang berteriak kencang dengan lantang, pakaiannya serba putih, ia berpeci putih, jubah putih, sorban putih, kulitnya pun juga memang putih bukan sao matang. Ia berdiri tegak mulutnya bicara, memegang tongkat di tangan kanan, memegang pengeras suara di tangan kanan, ikut menambah kerasnya suara monolog itu.
Dulu aku tidak percaya pada remaja demikian, ia cenderung ingin coba-coba saja, tak perduli benar salah, demikian orang-orang yang terbiasa dengan rayuan ibarat angin lalu masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri.
Dari arah selatan aku memandangi kakinya yang belum ditumbuhi bulu-bulu, demikian dagunya belum nampak ciri-ciri bahwa ia calon penghuni surga seperti kata para pendahulunya dulu di tempat yang sama di mana remaja itu berdiri.
Dulu jika ada yang berdiri dengan gaya begitu, orang-orang memilih tidur menunggu sirine berbunyi baru terbangun. Kali ini rupanya menawan, tak satu pun di antara kami yang mencoba tidur, menoleh pun enggan, semua mata menuju, semua telinga tertuju.
Barang siapa yang masih punya telinga silahkan di pasang, barang siapa yang masih punya mata silahkan di pandang, barang siapa yang masih punya kaki jangan hanya dipakai menendang, demikian jika di antara kalian masih punya tangan jangan hanya meraba tapi mari bersama.
Suara itu masih ditunggu, apa di ujung kalimat, entah huruf apa pada kata terakhir, sementara, remaja itu hanya berkata tujuan kita sama, ingatan kita pun terkadang sama, hingga aku pun tak sanggup berkata lagi.
Begitu di akhir kata ia kembali berkata, tentu semua tahu tentang itu titik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H