Adakah air yang kau taruh di akarmu, tanyanya pada pohon yang mereka peluk.
Biarlah kau kupeluk erat-erat, kau ku puja di penghujung musim penghujan yang menyimpan air genangan. Kau ku manja di awal musim kemarau ini yang memberi kehangatan atas gairah udara mendera.
Daunmu semoga tidak lekas berubah warna. Dahanmu semoga saja tidak kenapa atas derai angin kemarau. Ku Pinta batangmu tetap kokoh menopang segala kebinasaan. Ku Sembunyikan namamu, yah nama latin mu agar tak masuk undian pohon seperti pohon pohon lainnya dijadikan kayu bakar, kertas rongsokan, rumah bordil, meja koruptor, palu sidang tak bijak, ah ada ada saja kau bisa saja jadi tiang baliho para caleg.
Akarmu kini, teruslah menjalar mencuri air kolam di bawah sana. Biarkan ini jadi rahasia hutan kota dan pantai tak berombak itu. Kolamnya dijadikan bibir pantai, ikannya memakan limbah-limbah pabrik.
Kau tetap ku peluk erat, musimmu biarlah menjalani takdirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H