Berbicara tentang kisah RA Kartini tidak terlepas dari perjuangan perempuan. Sebuah upaya perempuan dalam terbebas dari penindasan dan hal-hal lain yang tidak diinginkan termasuk perjuangan kesetaraan hak-hak dan gender. Kisah Kartini di era RA Kartini sedikit bergeser pada konteks permasalahan yang dihadapi dan cara penyelesaiannya. Konteks Kartini di era saat ini berkaitan dengan dunia kebebasan perempuan yang seakan terampas dari lingkungan kecilnya hingga lingkungan besar di masyarakat hingga di pemerintahan.
Konteks saat ini banyak cara untuk melawan persoalan tersebut yakni dengan menulis. Menulis pada dasarnya tidak berat dan juga tidak mudah. Hanya persoalan tekad saja. Jika tekad sudah ada tentu hal berikutnya adala mengisi diri kita dengan belajar dari berbagai sumber ilmu pengetahuan baik secara formal maupun otodidak.
Saat ini banyak medium untuk mengimplementasikan apa yang menjadi ide seorang penulis baik itu media massa maupun media elektronik. Platform Kompasiana merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan oleh para penulis. Di platform ini pula terdapat beberapa kartini baru yang saya kenal begitu gigih melawan sebuah ironi yang dihadapinya. Hal tersebut terlihat dari ulasan dan isi serta amanat tulisan yang disampaikannya. Dengan topik apa pun yang ia tuliskan selalu ada unsur ekstrinsik yang mempengaruhi tulisan penulis perempuan tersebut.
Dari circle pertemanan saya terdapat beberapa penulis perempuan yang sering mampir menyimpan jejak. Baik sekedar sapa maupun memberikan apresiasi serta tanggapan atas tulisan saya. Mulai dari penulis senior hingga penulis pemula. Demikian profesionalitas mereka yang sulit saya ukur, namun hal tersebut dapat saya taksir-taksir saja dari polarisasi penulisan yang digunakan selama berinteraksi dengan saya sebagai penulis pendatang baru di Kompasiana.
Beberapa di antaranya adalah Kompasianer an Ibu Roselina Tjiptadinata yang selalu rajin memberi motivasi pada setiap kompasianer yang ia kunjungi dengan sapaan selamat pagi, Kompasianer dua sekawan asal Jogja yakni Indah Novita Dewi dan Agustina Purwantini, berikutnya adalah kompasianer yang sering saya sapa Bunda Yusriana Siregar, kompasiana penyuka Puisi yakni Fatmi Sunarya, Ibu Lily Setiawati Utomo, Itha Abimanyu asal Sumedang dan teh Hera Dwi asal Jakarta serta Ibu Elmi Safridati, Mba Nur Asih Jayanti yang fokus pada topik finance, Ibu Guru Neni Indrayani, Ibu Guru Halimah Maysaroh dari Pulau Buru, Ibu Dosen Siska Fajarrany dan Ibu Isti Yogiswandani asal Madiun dengan gaya penulisan yang khas pada setiap reportasenya, penulis senior Yustisia Kristiana asal Semarang, dan Mba Petter serta mba Veronika Gultom, tak kalah menariknya lagi ada beberapa kompasiana yang dengan antusias memberikan edukasi menarik atas permasalahan yang ada yang tak sempat saya hadirkan dalam tulisan namun ada satu nama yang teringat yakni Ibu Hennie Triana Oberst dengan karakteristik reportasenya dari Jerman.
Dengan kegigihan penulis perempuan di atas bahwa memberi contoh kepada perempuan lainnya untuk konsisten dalam dunia tulis menulis. Konsistensi mereka tentu tidak lahir begitu saja tetapi adanya interaksi sesama kompasianer serta adanya motivasi lainnya yang mereka hadapkan. Apa yang luar biasa dari kartini kompasiana di atas dan beberapa nama tidak saya hafal (mohon maaf) adalah adanya kebulatan tekad mencari jalan tengah sebuah permasalahan yang dihadapi dirinya dan masyarakat melalui jalan menulis. Menulis tentu tidak menyelesaikan permasalahan secara langsung tetapi dengan menulis sedikit demi sedikit membebaskan seseorang dari permasalahan demikian pembaca yang mengambil hikmah dari tulisan tersebut.
Menulis bagi kompasianer tentu tidak,berat, penulis perempuan kompasiana sangat langkah. Namun upaya penulis perempuan tersebut layaknya Kartini masa kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H